"Cinta itu kita"
- bengbeng*HAPPY READING*
Terlihat seorang gadis dengan langkah terburu-burunya berlari menyusuri jalan yang kebetulan sedang lenggang itu. Jelas lenggang karna semua orang sedang bekerja. Dan hanya dirinyalah pelajar SMA yang terlihat masih berlari-larian di jalan seperti di kejar setan seperti ini.
"Bian sialan Bian sialan!" Sembari terus berjalan gadis itu tak henti-hentinya merutuk. Pasalnya ini sudah sangat siang dan mungkin saja dia terlambat beberapa mata pelajaran pagi ini.
Ini semua karna ulah adik semata wayangnya itu yang tega pergi tanpa membangunkannya terlebih dahulu. Mungkin tidak semuanya salah Bian. Salah dirinya sendiri yang malah bergadang semalaman dan tidur tepat di jam 3 pagi.
Salahkan Dinar.
Seharusnya lelaki tidak membuat hatinya bimbang saat semalam. Bisa-bisanya dia berkata seolah sedang memgutarakan perasaanya, namun nyatanya dia hanya sedang memuji dirinya. Bukan Nadinta berharap Dinar menyukainya lebih dari seorang teman. Hanya saja, Semalam Dinar terlihat sangat bersungguh-sungguh berucap jika dirinya memang menyukai Nadinta. Apa salah Nadinta merasa bimbang.
"Duh gawat, gue telat dua mata pelajaran lagi!" dengusnya saat melihat arlojinya menunjukan pukul 10:10 a.m. kakinya terus berlari cepat membelah jalanan.
"Aduhhh gue gak kuat lagi." Nadinta berhenti berlari dan berdiam diri di sebuah halte yang terlihat sepi itu. Nafasnya tersegal-segal. Bayangkan saja berlari dari jarak 500 meter dari rumahnya tanpa henti.
Selagi menunggu bus datang Nadinta mendudukan dirinya terlebih dahulu di kursi besi panjang halte itu. Menyeka keringat di pelipis dan lehernya dengan tissue yang dia bawa.
"Aish...bus nya juga mana lagi, udah tau gue telat" omelnya karna merasa jengah dengan bus yang ditunggunya tak kunjung datang.
Tap tap tap
Nadinta merasa ada seseorang yang duduk di sampingnya. Dengan perlahan dia menoleh dan tersentak saat melihat sosok Langit tengah tersenyum ke arahnya. Penampilannya masih sama seperti yang Nadinta liat dulu.
Nadinta dengan cepat menggeser duduknya menjauh dari Langit. Langit mengernyit melihat tingkah Nadinta yang seolah-olah sedang ketakutan melihatnya.
"Nadinta takut?" tanyanya.
Nadinta memandang Langit dan tak berniat menjawabnya. Dia sudah berdiri hendak pergi dari situ namun tangannya malah di cekal oleh Langit. "Jangan pergi"
"G-gue harus sekolah" balas Nadinta terdengar begitu takut. Entahlah Nadinta sendiri bingung, kadang ia merasa takut dengan kehadiran Langit kadang juga tidak. Tapi dia masih merasa yakin jika phobianya itu masih ada.
"Sekolah? Kenapa harus sekolah?" tanya Langit dengan mata mengerjap polos. Nadinta meneguk ludahnya sendiri susah payah. Dia berusaha melepaskan cekalan Langit di tangannya.
"Karna gue butuh itu"
Langit terdiam sebentar, dia ikut berdiri dan berhadapan langsung dengan Nadinta. Tingginya jelas melebih tinggi Nadinta, maka dengan mudah dia bisa menggapai kepala Nadinta dan mengelusnya.
Nadinta speechles di tempatnya berdiri. Elusan Langit begitu nyata di rasanya. Rasa hangat yang menjalar, berbeda dengan saat Dinar yang menyentuhnya, justru Nadinta sendiri tidak merasakan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Depresi Boy
Teen FictionStory and cover by tantyTKR_ *** "dia yang memiliki senyumanmanis, yang mampumembuatku merasa candu akan dirinya. dia mampu membuatku merasa bahagia walaupun aku tau dia tak bisa aku miliki. apalah aku yang hanya seorang laki-laki gila yang bermimpi...