-Surat itu-

484 22 6
                                    

"Saya hanya jembatan yang sedang kamu injak dan menjadikannya sebagai tempat peristirahatan. Saya tidak akan bisa lebih dari sebuah pengagum rahasiamu dalam malam dan siang. Saya tidak akan bisa menjadi bahu yang kamu rindukan, senyuman yang menenangkan, usapan yang membuat nyaman. Terima kasih telah menjadikan saya jembatan, meski bagi saya, kamu adalah tujuan."

**********

"Terima kasih sudah berkumpul di lapangan. Saya akan memberitahu beberapa hal disini" tegas Bu Siman dengan nada lantangnya.

Di lapangan sudah berkumpul murid-murid dari kelas 10 hingga 12. Wajah-wajah penasaran menghiasi murid-murid. Keringat dingin keluar di kening gue. Jantung gue berdetak lebih cepat daripada biasanya. Kalo detak jantung anak 10 tahun, orang dewasa dan manula adalah 60-100 per menit dan atlet pro terlatih 40-60 per menit, nah kalo untuk sekarang, detak jantung gue berdetak 200-500 per menit. Lu bayangin sendiri tuh gimana rasanya. Para murid diam sembari menenggakkan kepala mereka mencari tahu apa yang terjadi. Gue masih belum menemukan batang hidung Putri atau Kak Laras saat itu.

"Saya nggak akan mengambil waktu kalian terlalu lama, karena saya tahu kalian pasti kepanasan." lanjutnya.

Terdengar dari salah satu murid berbisik "Ya iyalah, kita kan di lapangan, lah dia? Enak di depan teras kantor sambil ngadem."

"Nggak usah bisik-bisik. Saya mendengarnya. Telinga saya lebih tajam daripada penciuman hidung kamu."

Murid itu langsung diam bagai patung.

Bu Siman memang dikenal tegas dalam menyikapi sesuatu. Wajahnya yang sangar memancarkan aura kekejaman. Anak-anak murid sering menamai beliau sebagai "ibu pengabdi setan". Ditambah dengan lipstick hitam dan makeup yang terlalu tebak membuatnya benar-benar mirip pemeran di film pengabdi setan.

"Saya baru aja mendapatkan sebuah surat dari salah satu murid. Surat ini berisi tentang cinta pandangan pertama."

"Wuuuuuu" sorak murid-murid lain sembari tertawa dan penasaran isi surat tersebut.

"Saya heran, apa yang nulis ini nggak punya medsos? Masih jaman nulis surat ginian? Apa enggak ada kuota tuh anak."

Mendengar pidato Bu Siman, murid-murid tertawa tak karuan sembari berteriak,"Baca..baca...baca..."

"Tenang semuanya, tenang. Saya akan membacakannya dalam rangka peringatan terhadap dua insan yang sedang mabuk cinta dan pada kalian semua agar nggak ada lagi cinta-cintaan di sekolah ini."

Suasana seperti ini nggak sesuai dengan apa yang gue harapkan. Mata dan telinga murid-murid terfokus pada Bu Siman yang siap membaca surat tersebut.

Brian melirik ke arah gue sembari tersenyum menyeringai seperti puas akan kemenangan. Rendipun belum bertemu dengan gue hari ini. Dia memang bilang akan terlambat hari ini. Tapi gue benar-benar Butuh dia saat ini.

Mata gue terhenti ketika melihat Kak Laras sedang duduk bersama Putri di taman kecil sekolah depan ruang kepala sekolah. Mata dan telinga Putri pun sama seperti murid lainnya, sedangkan Kak Laras malah melihat gue dengan pandangan yang mencurigakan seakan tahu apa surat apa yang dipegang oleh Bu Siman.

Pada saat itu, otak gue bekerja lebih keras daripada biasanya. Gimana caranya ngambil tuh surat dari tangan Bu Siman.

"Woi" sapa Rendi dari belakang sembari menepuk pundak gue. "Tegang banget tuh muka kaya lagi nunggu pengumuman kelulusan. Hehehe. Oh ya, ini ada apaan ramai-ramai? Libur ya?" tanyanya pada gue.

"Siapa itu teriak-teriak?!" tanya Bu Siman setelah mendengar teriakan Rendi. Rendi langsung menutup mulutnya dan menundukkan kepalanya.

Gue nggak menghiraukan pertanyaan Rendi dan tetap memikirkan caranya mengambil surat tersebut dari Bu Siman.

Don't say Why!! -Selesai-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang