Karma

1.1K 99 20
                                    

Desas desus merebak seantero sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Desas desus merebak seantero sekolah. Selalu begitu, sesuatu yang buruk bisa terendus secepat kilat, bahkan dinding ikut berbisik, yang tidak tahu menjadi tahu.

Entah mana yang benar, mana yang salah. Berita itu sudah masuk ke telinga Eza. Ia wajib mendengar kabar itu dari orang terpercaya, valid dan bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Berita kalau Feya keluar dari sekolah karena gila.

Eza sudah berada di ruangan pak Irdan sebagai wali kelas X-3, meminta penjelasan lebih atas desas desus yang entah bermula dari mana.

"Jangan melebih-lebihkan, walinya cuma bilang Feya keluar sekolah karena harus tinggal dengan keluarganya di New York," jelas pak Irdan mematahkan desas desus sadis dari mulut-mulut dengki.

"Kenapa New York, bukannya Feya dari Jepang?" Eza bertanya.

"Loh, kamu belum tahu? Kakak Feya sekarang tinggal di New York. Keluarga Feya yang di Jepang cuma ibunya. Ibunya meninggal sebelum Feya datang ke Indonesia."

"Ah, aku baru tahu."

Ya, Feya memang tidak banyak menceritakan tentang dirinya. Waktu yang dipakai Eza bersamanya hanya mendengar tentang Rean dan Rean, tidak tentang kisahnya. Eza sedikit kecewa kenapa ia tidak bertanya lebih tentang ini.

"Za, beberapa hari lalu Rean kumat lagi. Dia tidak bilang alasan kumatnya karena apa. Dia memang bisa menanganinya, tapi bapak curiga ini ada hubungannya sama Feya," ucap pak Irdan memposisikan diri sebagai pamannya, bukan sebagai gurunya.

"Ya, aku tahu. Dia memang pernah cerita kalau malam itu dia ketemu Yicky dan Feya di rumah sakit. Tapi dia ga bilang apa yang terjadi," kata Eza menambahkan.

"Maaf kalau bapak harus minta tolong lagi. Rean bisa keluar dari dirinya yang dulu karena Feya, tapi kalau Feya yang buat dia terpuruk lagi satu-satunya yang bisa menolongnya cuma kamu."

"Jangan berharap terlalu banyak, pak Irdan. Aku ga sebaik itu."

"Tapi kamu masih peduli, kan?"

Eza diam beberapa saat. "Tentu, bagiku selamanya dia adalah temanku."

Senyum lega terpancar dari wajah pak Irdan. Mereka menyudahi perbincangan di waktu istirahat itu. Pak Irdan mempersilakan Eza kembali ke kelasnya menghabiskan waktu yang tersisa.

Eza berbelok ke ruang musik. Beberapa hari ini Rean bersembunyi di sana. Tidak memainkan apapun, hanya tiduran di atas tuts piano.

Kali ini pun Rean memang di sana. Tidak sedang tiduran di atas tuts piano memang, tapi duduk melamun di kursi yang menghadap jendela. Rean tidak bereaksi ketika Eza mengeluarkan suara dari pintu yang didorong. Eza juga berdehem, namun Rean masih diam di posisinya.

Akhirnya Eza mengambil kursi lain dan duduk di sebelah Rean, menatap jendela yang sama dimana ada pemandangan pohon mangga dari sana.

"Rean... kamu masih ingat ga, waktu kecil dulu kamu punya jam tangan yang bisa menyala dalam gelap. Aku suka jam tangan kamu, aku juga ingin punya satu dan minta sama bunda.

F. E. A. R  [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang