(Book #1 F.Y.M Universe)
Kisah empat orang remaja dengan masalahnya masing-masing.
Rean Kainand, laki-laki berkemampuan Hyperacusis yaitu kepekaan terhadap suara. Ia harus menekan emosi agar telinganya tidak berdenging setiap kali emosi meningkat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setengah tahun, banyak hal yang terjadi. Bohong kalau Rean sudah melupakan seratus persen. Tidak pernah ada yang benar-benar pergi. Masih membekas, sama seperti saat ditinggalkan.
Orang bilang, waktulah yang mengobati. Waktu dijadikan pegangan, menunggu sampai kenangan mengering. Nyatanya waktu jugalah yang menyakiti pelan-pelan. Karena menjadi seseorang yang ditinggalkan, letak penderitaannya beda dengan yang meninggalkan. Selamanya ia akan berada di jurang bernama takut kehilangan.
Untungnya Rean tidak melampiaskan rasa sedih ke dalam study. Nilai-nilainya cemerlang meskipun tidak bisa mengalahkan Eza. Di perlombaan piano, Rean-lah yang jadi wakilnya. Ia menyabet seluruh thropy dan mengambil hati para juri yang jadi penggiat musik. Nama Rean Kainand melesat sebagai kandidat musisi di masa depan. Terlebih statusnya sebagai anak dari Urky mulai terendus massa.
Hari itu Rean pulang cepat karena kepalanya pening. Sepulang sekolah Rean selalu mendapat serangan dahsyat di kepala, terutama saat keluar pintu kelas dan pemandangan kelas X-3 mengusik seluruh inderanya untuk ingat Feya lagi.
Rean meminimalisir pertemuan dengan siapapun yang berkaitan dengan Feya, terutama Eza.
Pintu pagar Rean digeser perlahan menimbulkan bunyi khas milik pagar pembatas. Rean berjalan malas ke halaman lalu ke depan pintu. Rean diam sesaat, telinganya menangkap sesuatu dari dalam rumah. Alunan piano.
Rean sangat yakin pak Irdan belum pulang dari sekolah. Seseorang berada di rumahnya dengan atau tanpa permisi pada si pemilik rumah.
Rean berubah waspada ketika kenop pintu digerakkan dan tidak terkunci. Mirip seperti adegan horor, Rean mengendap-endap di rumahnya sendiri. Alunan piano masih kedengaran di ruang musik. Bahkan suaranya makin keras ketika satu-satunya penyambung ke dalam dan luar rumah dibukakan Rean.
Ludah tertelan dramatis, Rean merasa perlu datang dan melihat sendiri siapa pemain musik indah tersebut. Permainan yang sempurna, tanpa cacat, terlebih irama nan empuk bagaikan sedang disuguhi makanan kelas atas dan wine.
Rean ada di sana, menyaksikan siluet dari si pemain piano di rumahnya. Tidak perlu memutar otak untuk bisa menebak siapa laki-laki yang duduk di depan piano dengan jari-jari menari di atas tuts piano.
Laki-laki itu sadar, ia menoleh pada Rean yang mematung di dekat pintu dengan mata melotot seperti melihat hantu.
"Ah, tunggu sebentar. Sampai lagu ini selesai, ya?" katanya tanpa menghentikan dentingan indah yang ia ciptakan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.