3

18.9K 1K 20
                                    

Althareza Point of View.

Motorku berhenti sebelum sampai di depan pagar rumah Rhaline, dari jauh aku mengintip gadis itu masuk ke dalam rumahnya setelah turun dari ojek online yang ia pesan. Pintu tertutup dan aku menghembuskan nafas pelan. Bertahun-tahun lamanya kami tidak bertemu dan dia semakin keras kepala saja. Aku bertanya-tanya apa alasan yang membuatnya tidak ingin menikah, bukan hanya denganku melainkan juga semua pria. Gadis itu ingin melajang seumur hidupnya, benar-benar aneh dan sedikit banyak membuatku kesal. Aku kesal karena ia tidak ingin memberitahukan alasannya kepadaku. Bahkan saat ia mengaku aku dapat melihat berbagai macam emosi di matanya, kecemasan, kesedihan, amarah, dan rasa takut.

Rhaline membuatku kebingungan.

Kunyalakan motorku setelah aku memastikan Rhaline sampai di rumah dengan aman. Aku berkendara menuju ke rumah, rumah yang sudah lama kutinggali dan kini kutempati lagi bersama ibuku. Bunda sangat bersemangat kembali ke kota ini setelah aku menyetujui perjodohan yang ia rencanakan bersama Mamanya Rhaline, aku tahu sejak dulu Bunda sangat menyukai Rhaline bahkan sudah menganggap Rhaline seperti anaknya sendiri. Tidak bisa kujabarkan betapa dekatnya kami dengan keluarga Rhaline, mereka semua ada di saat kami mengalami kesulitan bahkan tak jarang aku dan Bunda menginap di rumah mereka saat Bunda merasa kesepian.

Sesampainya aku di rumah kudapati Bunda terlelap di sofa di ruang tengah. Oh, ibuku pasti menungguku pulang dan memaksakan dirinya untuk terjaga agar dapat mendengarkan ceritaku tentang kencan yang baru saja kulalui bersama Rhaline. Mengingat kencan kami yang berjalan dengan sangat buruk aku bersyukur, karena Bunda sudah terlelap sehingga tak perlu merasa kecewa.

Menghampiri sofa, aku menunduk di sisinya lalu mengangkat Bunda ke dalam gendonganku. Kubawa Bunda yang terlelap ke dalam kamarnya kemudian aku bertahan di sana sejenak untuk memandangi wajahnya yang tampak lelah. Sebagai anak yang dibesarkan hanya oleh seorang ibu, jelas aku sangat menyayangi Bunda. Aku akan melakukan apa pun yang ia inginkan sebab selama ini ia telah berjuang mati-matian seorang diri untuk membesarkanku dan membimbingku menuju ke masa depan yang cerah. Bunda sudah cukup banyak disakiti oleh ayah kandungku yang brengsek, dia sudah banyak menitikkan air mata dan sekarang aku tidak ingin melihat setetes pun tumpah dari matanya lagi.

Kukecup kening Bunda sebelum aku bangkit dan pergi meninggalkan kamarnya. Di dalam kamarku, sambil berbaring di ranjang, aku kembali memikirkan Rhaline. Gadis itu adalah cinta pertamaku, satu-satunya gadis yang mampu mengisi sesuatu yang paling dalam di hatiku. Sudah bertahun-tahun aku memendam perasaan ini dan aku juga tidak terlalu berharap dapat memilikinya, dia sangat membenciku walau aku tidak tahu apa alasan pasti ia tidak menyukaiku. Wanita itu mudah ditebak, namun susah untuk dimengerti. Terkadang apa yang kupikirkan tentang jalan pikirannya belum tentu tepat dengan apa yang ia inginkan. Selalu saja berbelok dan berbelit-belit, Rhaline adalah wanita yang paling rumit yang pernah kutemui.

Aku jujur saat mengatakan bahwa aku menyetujui perjodohan ini karena ibuku. Tapi ada alasan lain yang kusembunyikan, aku nenyetujui perjodohan ini juga karena aku mencintainya. Aku menginginkannya. Dan saat ia menantangku kalau ia akan membatalkannya aku tidak terlalu peduli, sebab aku tahu ia punya seribu pertimbangan untuk melakukannya. Ya, dia mungkin adalah anak yang pembangkang, tapi jauh di dalam lubuk hatinya ia adalah gadis yang penyayang dan mudah tersentuh. Hanya dengan melihat air mata kedua orang tuanya ia akan kehabisan kata-kata.

Mengingat wajahnya yang memerah saat ia menantangku membuat aku sialan sangat ingin memeluk dan menciumnya. Aku ingin membungkam bibirnya yang tak pernah berhenti mengomel dengan bibirku. Dan yang paling buruk aku ingin mengikat kedua tangannya dan membuat ia berjanji untuk berhenti mengumpatku. Gadis pembangkang itu benar-benar mengujiku, oh lebih baik aku tidur sekarang jika tidak besok aku akan bangun terlambat karena bergadang memikirkan Rhaline sepanjang malam!

***

Aku mengernyit dan terbangun saat sinar matahari jatuh di wajahku. Kubuka kedua mataku dengan malas dan kutemukan kain jendela sudah terbuka lebar, ini pasti ulah Bunda agar aku segera bangun dan turun untuk sarapan bersamanya.

Turun dari ranjang, aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat aku sudah tiba di meja makan, Bunda menyambutku dengan senyumnya yang cerah.

"Bagaimana kencan sama Rhaline kemarin malam?" tanyanya.

Aku menarik kursi lalu duduk tak tahu harus menjawab apa. Berkata jujur hanya akan membuat Bunda merasa kecewa, kencan kami kemarin malam jelas jauh dari kata sempurna.

"Bagus" jawabku, seadanya.

"Rhaline masih galak sama kamu?"

Ya.

Aku menggeleng, "Tidak"

"Syukurlah...." Bunda mendesah lega, "Dia pasti juga mulai mencoba untuk membuka diri"

Aku mengangguk mengerti dan langsung mengalihkan pembicaraan pada menu sarapan kami hari ini.

"Nasi kuning?"

"Kesukaan kamu, dan jangan lupa kerupuknya" sahut Bunda sambil terkekeh pelan.

Aku tersenyum lalu mengucapkan terima kasih dan mulai menyendokkan sarapan ke piringku. Kami sarapan sambil bercerita mengenai beberapa hal, tentang Rhaline dan kencan kemarin malam lebih tepatnya. Bunda tidak pernah berhenti bertanya apa saja yang kami lakukan kemarin, di mana kami makan, dan menu apa yang kami pesan. Dia terlihat begitu bersemangat dengan kencan kami yang gagal, dan sayangnya aku harus membohonginya agar Bunda tidak merasa kecewa.

Aku mulai berpikir, jika Rhaline benar-benar berhasil menggagalkan perjodohan kami aku tidak bisa membayangkan akan sehancur apa perasaan Bunda.

- TBC -

Vote+comment for next!

Mama's boy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang