4

19.9K 1K 25
                                    

Suasana di ruang makan malam ini begitu dingin. Hanya ditemani tangisan dua bayi kembar yang mana adalah keponakanku dan juga suara dentingan sendok dan garpu. Ya, perdebatan baru saja terjadi di sini, aku dan Mama bersitegang soal perjodohan yang sudah ia janjikan bahwa keputusannya ada di tanganku, tapi mana? Apa buktinya? Mama berbohong. Dia bahkan memaksaku untuk menikah dengan Althareza, setuju atau tidak, aku tidak lagi bisa menentukan keputusanku sendiri.

Kesal rasanya saat seseorang mencoba mengatur hidupmu, sekali pun orang itu adalah ibumu sendiri. Itulah yang kurasakan saat ini, aku bahkan semakin kecewa karena tidak ada satu orang pun yang membelaku. Papa dan Kak Ares diam saja seolah-olah mereka tidak ingin ikut campur. Demi Tuhan, aku benar-benar gusar. Sejak dulu aku dan Mama memang sering berdebat tapi tidak ada perdebatan yang lebih buruk dari ini dan aku pikir aku tidak akan diam lagi.

Sendok dan garpu kuletakkan telungkup di atas piringku. Aku menyudahi makan malamku karena tidak bernafsu untuk makan, apa yang masuk ke dalam mulutku terasa hambar dan yang kubutuhkan hanyalah pergi ke tempat di mana aku bisa sendirian.

"Rhaline, duduk" ucap Papa saat aku hendak meninggalkan meja makan. Mau tak mau aku mendaratkan bokongku lagi di kursi. "Katakan apa yang membuat kamu menolak perjodohan ini?"

Ah, akhirnya Papa buka suara juga. Tapi pertanyaan itu, aku tidak bisa memberikan jawaban yang sejujur-jujurnya.

"Rhaline merasa tidak cocok dengan Althareza" jawabku.

"Alasannya?"

Aku terdiam, terjebak oleh kebohonganku sendiri. Aku tidak punya alasan mengapa aku dan Althareza tidak cocok karena kami memang belum mencoba untuk saling mengenal dengan baik. Aku hanya membuat alasan itu agar perjodohan ini dihentikan.

"Dia...umm, kami punya pendapat yang berbeda tentang menjalani rumah tangga" duh alasan payah macam apa itu?

Mama yang duduk di sisiku mendengus, "Tentu saja, dia ingin berumah tangga sementara kamu tidak"

Oh!

Satu alis Papa terangkat naik menatapku, "Itu benar? Kamu tidak mau menikah?"

Aku tertunduk lalu menggeleng pelan. Kugigit bibir bawahku dengan gugup, sungguh aku ingin pergi dari sini sebelum Papa mengetahui kalau sebenarnya aku takut untuk menikah. Tapi rasanya bokongku terpaku pada kursi yang kududuki, aku sama sekali tidak bisa bergerak untuk melarikan diri.

"Rhaline, bicara yang jujur"

"Rhaline jujur, bukannya Rhaline tidak ingin menikah ini hanya belum saatnya, Rhaline baru saja wisuda dan-"

"Dulu kamu mengatakan hal yang sama, kamu berjanji sama Mama akan menikah setelah wisuda" sela Mama.

Skak Mat.

Aku tak tahu lagi harus berkata apa.

"Kenapa Rhaline?" tanya Papa dengan lembut, kesedihan terselip di balik suaranya.

Aku menunduk dan terdiam. Desakan untuk menangis begitu besar tapi kutahan. Aku tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa aku tidak ingin menikah sebab itu nantinya akan menyinggung perasaan semua orang yang ada di meja ini, jadi aku memutuskan untuk diam.

"Pokoknya kamu dan Althareza akan menikah, sudah Mama putuskan"

Wajahku terangkat dan kedua bola mataku membesar menatap Mama. Sungguh, ini tidak adil. Kesalahan apa yang telah kulakukan sampai aku harus dipaksa menikah seperti ini?

"Ma-"

"Diam Ares, jangan ikut campur"

Oh!

Aku bangkit dari kursi yang kududuki lalu menatap Mama dengan kesal. Kutinggalkan meja makan begitu saja dan aku lari menuju ke kamar. Di dalam kamar aku menangis, pintu kukunci dan aku mulai berpikir untuk melarikan diri dari rumah ini tapi itu tidak mungkin. Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku.

Suara pintu yang diketuk berulang kali tidak kupedulikan, itu pasti Mbak Caca yang datang untuk membuatku tenang tapi aku tidak butuh siapa pun saat ini. Aku hanya ingin sendirian.

***

"Nyokap lo serem juga"

Kutangkup wajahku dengan gusar kemudian aku mengerang, "Aku ga mau nikah!"

Julie dan Putri saling melemparkan tatapan yang sulit kuartikan. Putri meletakkan tangannya di bahuku, memberikan usapan yang lembut sambil bertanya, "Rhaline, mau sampai kapan lo begini?"

Aku mengerutkan dahi menatapnya, "Selamanya. Kamu sudah tahu alasan kenapa aku menolak untuk menikah"

Dia mengangguk, "Ya, gue tahu tapi itu keputusan yang salah. Kita semua harus menikah, lo butuh teman hidup karena tidak selamanya gue, Julie, atau keluarga lo selalu ada buat lo"

Aku mengernyit tidak suka dengan pendapat itu, "Terus apa suamiku nanti bakal selalu ada buat aku?"

Putri mengangguk, "Iya dong"

Aku menggeleng tidak setuju, "Belum tentu, bagaimana jika dia menikah lagi? Atau meninggal lebih dulu? Atau punya tempramen yang buruk dan memukuliku?"

Putri terdiam dengan pipi yang menggembung. Gadis itu menatapku sebal sambil mengerucutkan bibirnya, sementara itu Julie yang menyaksikan perdebatan kami terkekeh pelan lalu menyela, "Lo selalu memikirkan sesuatu dari sudut pandang yang buruk, Rhaline"

Aku menatap Julie dengan satu alisku yang terangkat, "Apa aku salah?"

"Ya" sahutnya, "Bagaimana jika lo pikirkan kalau kelak lo dapat suami yang baik, tajir, cakep, setia, vibes positifnya lebih kerasa 'kan?"

"Bullshit" cibirku, "Ga ada cowok sesempurna itu"

"Ada" tekan Putri.

Aku mendengus geli, "Di novel atau di film drama romantis yang sering kamu tonton?"

Gadis itu menggerutu.

Tiba-tiba saja ponselku berdering dan menampilkan nama Mama di layarnya, aku menatap kedua temanku dengan ragu dan mereka menyuruhku untuk segera mengangkat panggilan itu. Oh, sekarang apa lagi? Dengan malas aku pun menekan tombol hijau dan meletakkan ponsel di telingaku.

"Ya, Ma"

"Kamu di mana?"

"Butik"

"Cepat pulang, ada sesuatu penting yang mau Mama bicarakan"

Aku menghembuskan nafas pelan, "Ga bisa dibicarain sekarang?"

"Tidak"

Oh, ini pasti soal perjodohan yang tiada habisnya. Aku muak.

"Ya, Rhaline pulang sekarang"

Panggilan berakhir dan aku segera meraih tasku lalu meletakkan ponselku di dalamnya.
Aku beranjak dari dudukku sambil berkata, "Aku pulang duluan ya"

"Semua aman-aman aja?" tanya Julie.

Aku mengangguk, "Ya, paling Mama cuma mau mendesak aku menerima perjodohan itu lagi"

Putri menepuk pundakku, "Good luck!"

Aku memutar mata lalu keluar dari butik dan masuk ke dalam mobilku. Mobil melaju menuju ke rumahku yang berada tak jauh dari butik, jarak tempuhnya sekitar dua puluh lima menit lah kalau jalanan sedang ramai. Sesampainya di rumah dahiku berkerut dalam menemukan dua mobil yang tak kukenali terparkir di depan rumah.

Apakah ada tamu yang datang?

Turun dari mobilku, aku segera masuk ke dalam rumah dan alangkah terkejutnya aku menemukan Althareza dan seluruh keluarganya sudah duduk di ruang tengah bersama beberapa seserahan.

Sialan, apa-apaan semua ini?!

- TBC -

Vote+comment for next!

Mama's boy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang