11

18.9K 967 7
                                    

Besoknya kami kembali ke kota. Al dan aku bersikap biasa saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa kemarin malam. Di sepanjang perjalanan kami memang lebih banyak diam dan berbicara seperlunya. Kerap kali aku berpikir bahwa pria itu menyesali ciuman yang kami lakukan semalam, astaga aku bahkan naik ke atas pangkuannya. Mengingat hal itu membuatku merasa sangat malu, aku tidak pernah berciuman sebelumnya tapi entah mengapa bersama Althareza aku seakan-akan berubah menjadi seorang wanita yang ahli dalam menaklukan pria.

Aku membuang wajahku ke arah jendela mobil guna menyembunyikan semburat merah yang mulai mewarnai pipiku. Kutopang daguku di jendela lalu aku memandangi jalanan kota yang mulai kami masuki. Besok, aku sudah kembali bekerja di butik, ada banyak gaun yang harus kuselesaikan tapi ya ampun, aku tidak bisa memikirkan apa pun selain ciuman kemarin malam!

Oh, setibanya di rumah aku harus beristirahat dan melupakan segalanya.

"Rha"

Suara Althareza yang memanggilku membuatku tersentak kecil dan langsung menoleh, "Ya?"

"Mau berhenti untuk sarapan?"

Aku menggeleng pelan, "Aku tidak lapar, kita makan di rumah saja"

Al mengangguk setuju dan kembali menatap fokus jalanan yang membentang di hadapannya. Tapi aku dapat melihat perubahan yang terjadi di wajahnya, pria itu tampak kesal, apakah ia mengajakku sarapan karena dirinya sendiri merasa lapar? Oh.

"Kamu ingin sarapan sekarang?" tanyaku, "Kita bisa berhenti jika—"

"Tidak, aku tidak lapar" sahutnya.

Tak tahu harus berkata apa lagi aku pun terdiam. Mungkin Al hanya menawariku saja, tapi sungguh kalau ia lapar aku tidak masalah berhenti sebentar untuk sarapan.

Kami sampai di rumah setelah menempuh perjalanan yang panjang. Aku turun dari mobil lalu mengambil oleh-oleh yang kami beli untuk keluarga dan kerabat, aku yang berinisiatif membelinya karena teman-temanku menagih oleh-oleh dari pengantin baru yang baru saja berbulan madu. Uh, andai mereka tahu apa yang kami lakukan di puncak. Tidak ada satu pun kegiatan romantis selain duduk di pinggir danau dan berciuman. Oke, lupakan.

"Sini biar aku saja" Al mengambil beberapa kantung berisi oleh-oleh dari tanganku lalu berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. Aku segera menyusulnya karena kunci ada padaku.

Setelah pintu terbuka kami masuk dan aku mengikuti Al yang menaruh oleh-oleh di atas meja makan. Kuletakkan ranselku di atas meja makan kemudian aku menghampiri pria itu dan bertanya, "Kamu mau sarapan sekarang?"

Al menggeleng, "Kamu istirahat aja, kita baru sampai kamu pasti capek aku bisa bikin sarapan sendiri"

"Aku tidak—"

"Istirahat, Rhaline" tekannya.

Dengan sendirinya kakiku melangkah menuruti perintah pria itu menuju ke kamar. Astaga apa-apaan ini? Aku bukanlah gadis yang penurut tapi kenapa saat dihadapkan dengan perintah pria itu aku tidak bisa berkutik sama sekali?

Di dalam kamar, aku mengganti bajuku lalu keluar dari kamar enggan mengindahkan perintah suamiku yang ingin agar aku beristirahat. Entah kenapa perasaanku tidak enak membiarkan Althareza sendirian di dapur, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk segera pergi dan melihat apa yang sedang ia lakukan di sana.

Saat aku sampai di dapur aku mendapati Al sedang menerima panggilan dan betapa paniknya aku melihat asap mengepul di atas teflon. Aku segera berlari lalu mematikan kompor sehingga Al juga ikut terkejut karena kepanikanku.

"Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Telur yang kamu goreng gosong" jawabku, sambil menahan tawa yang ingin meledak.

Pria itu menggaruk tengkuknya dan merasa malu. Aku tertawa geli lalu membuang telur yang sudah gosong ke tempat sampah kemudian menyiapkan bahan untuk membuat telur dadar yang baru.

"Kamu mau ngapain?" tanyanya.

"Bikin sarapan untuk kita berdua"

"Untuk kamu aja, aku harus pergi sekarang"

Aku berbalik lalu menatap pria itu, sungguh lidahku sangat gatal ingin bertanya ke mana Althareza akan pergi tapi aku tidak mau dia berpikir buruk tentangku. Aku tidak ingin Al mengira kalau aku mencoba untuk mengatur hidupnya dan mengekangnya. Aku tidak mau bersikap seperti istri yang rewel sebab hubungan kami tidak sedekat itu sampai aku harus tahu kemana ia ingin pergi.

"Oh, oke" jawabku.

Al mengangguk lalu pergi meninggalkanku di dapur seorang diri. Dia mengambil kunci mobil yang sebelumnya ia letakkan di atas meja makan kemudian pamit untuk yang kedua kalinya kepadaku.

Hembusan nafas pelan lolos dari bibirku setelah pria itu tidak lagi terlihat. Aku melanjutkan kegiatanku menyiapkan sarapan untuk diri sendiri sambil berpikir apa yang bisa kulakukan hari ini. Ah ya, aku akan pergi untuk membagikan oleh-oleh yang kubawa untuk Bunda, Mama, dan kedua temanku yang sudah menunggu di butik.

Setelah aku menghabiskan sarapanku aku bergegas pergi dengan mobilku. Beberapa oleh-oleh yang kubawa kuletakkan di kursi berlakang. Pertama-tama aku pergi ke rumah Bunda dan memberikan oleh-oleh yang kubawa untuknya, aku pergi dari rumah Bunda setelah dua jam kami habiskan untuk mengobrol. Kemudian aku pergi ke rumah orang tuaku tapi sayang hanya ada Mbak Caca di rumah, alhasil aku menitipkan oleh-oleh yang kubawa untuk yang lain kepada Mbak Caca dan langsung pergi menuju ke butik.

Di butik, Putri dan Julie tidak begitu sibuk. Mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka dan kami menghabiskan waktu dengan duduk di ruanganku sambil mengobrol, kami juga menggunakan jasa ojek online untuk memesan makan siang.

Tanpa terasa hari sudah gelap saat aku ingat bahwa aku harus segera kembali ke rumah. Ya, aku bukan lagi anak gadis yang bisa keluyuran sesuka hatiku. Aku sudah bersuami, meski Al membawa kuncinya sendiri setidaknya aku harus ada di rumah saat ia pulang. Duh, tadi aku juga tidak bertanya berapa lama ia pergi.

Saat aku sampai aku menemukan rumah dalam keadaan gelap, tidak ada mobil Al di garasi itu artinya ia belum kembali. Aku masuk ke dalam rumah kemudian menyalakan lampu. Cahaya yang terang menyerang mataku, aku memutuskan untuk pergi ke ruang tengah lalu duduk di sofa dan menyalakan ponselku.

Ke mana Alhareza pergi? Mengapa ia belum kembali? Apa sebaiknya aku menghubungi dia? Uh, tidak. Untuk yang kesekian kalinya aku tidak mau dia berpikir bahwa aku mencoba menjadi istri yang berusaha mengekangnya. Kami memiliki kehidupan kami masing-masing.

Merasa lelah, kubaringkan tubuhku di sofa. Kunyalakan televisi untuk memecah kesunyian yang menyelimuti rumah. Meski acara yang kubuka sama sekali tidak menarik tapi aku tidak peduli, setidaknya suara dari televisi yang menyala dapat menemaniku di tengah-tengah kesunyian rumah ini.

— TBC —

Vote+comment for next!

Mama's boy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang