13

10.7K 480 20
                                    

Suara pecahan kaca membuatku terkejut di tengah isakanku. Air mata mengalir semakin deras membasahi wajahku, Althareza pasti sangat kesal dengan sikapku yang semakin tidak masuk akal. Dia pasti telah kehabisan kesabaran menghadapi aku yang kian rumit setiap harinya. Karena aku juga merasakan kekesalan yang sama, aku kesal kepada diriku sendiri yang tidak bisa lepas dari ketakutan ini.

Aku mengerti apa yang sebenarnya Al inginkan. Dia hanya ingin pernikahan ini berhasil, begitupula denganku. Namun cara kami berbeda, jika dia ingin memulai hubungan yang normal layaknya sepasang suami-istri, aku justru ingin kami bekerja sama dalam pernikahan ini dengan membuat batasan dan aturan dalam rumah tangga kami. Ya, caraku memang buruk tapi itu adalah satu-satunya cara yang menurutku aman. Cara yang Althareza membuatku merasa takut karena ia memintaku untuk belajar mencintainya, aku cemas jika suatu saat tumbuh perasaan itu di hatiku untuknya aku akan menjadi sulit untuk berpikir jernih. Aku takut setelah aku mencintainya dia akan berulah, memperalatku, dan melukaiku lalu meninggalkanku.

Bagaimana jika dia melakukan semua itu?

Aku benar-benar takut.

Suara motor yang menjauh membuat aku sadar kalau suamiku telah pergi meninggalkan rumah. Aku menghapus air mata yang membanjiri wajah kemudian mendudukkan diriku dengan pasrah di tepi ranjang. Hembusan nafas kecil lolos dari bibirku, mendadak aku merindukan rumah kedua orang tuaku yang belum lama kutinggalkan. Aku merindukan kamarku, dan menghabisakan waktu sepanjang hari di sana. Mungkin ada baiknya aku mengunjungi rumah orang tuaku agar perasaanku menjadi lebih baik.

Aku mengirim pesan kepada Mbak Caca dan mengatakan kalau aku akan berkunjung sebentar lagi. Sesampainya aku di rumah kedua orang tuaku, Jess dan Jeje yang sedang bermain menyambutku. Aku memeluk mereka lalu menyapa Mbak Caca seadanya sebelum masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju ke kamarku.

Aku menghabiskan banyak waktu di kamar lamaku sendirian tapi perasaanku tak kunjung membaik. Mama yang baru pulang dari pasar sudah mengetahui kedatanganku, ia segera menghampiriku dan bertanya mengapa aku datang seolah-olah aku telah menjadi orang asing di sini. Itu membutku merasa sedih meski aku tahu Mama tidak bermaksud demikian, ah perasaanku benar-benar sensitif hari ini. Aku juga telah mengirim pesan kepada Julie dan mengatakan kalau aku tidak bisa datang ke butik hari ini, Alhasil gaun yang menjadi tanggung jawabku kuserahkan kepada mereka.

Setelah cukup lama mengurung diri di dalam kamar lamaku, aku keluar dan mencari Jess dan Jeje untuk kuajak bermain. Mereka sedang berada di ruang tengah saling melempar bantal sofa, dan Mbak Caca juga ada di sana untuk mengawasi mereka.

"Hai" sapaku.

"Hai" sahut Mbak Caca, "Makan gih, kamu belum makan siang kan? Ini udah hampir malam loh"

"Bentaran lagi deh"

Aku duduk di sofa lalu mengambil Jeje dan membawanya ke pangkuanku. Dia menjerit karena aku mengganggunya yang sedang bermain bersama saudari kembarnya, tapi aku tidak peduli aku terus mencium pipinya yang tembam sampai aku puas lalu aku melepaskannya. Dia langsung merangkak cepat menjauhiku.

"Kamu ngapain aja di kamar seharian?" tanya Mbak Caca.

"Tidur"

Dia menatapku curiga, "Tidur apa nangis?"

"Tidur!" cetusku.

"Santai aja kali" dengusnya, "Mama tadi nanya kenapa kamu datang, Mbak bilang aja kamu kangen sama Jess dan Jeje padahal Mbak tahu kamu pasti habis bertengkar sama Al 'kan?"

"Ga kok, kita baik-baik aja, aku cuma rindu kamar lamaku"

"Bohong aja terus" sindirnya sambil terkekeh pelan.

Mama's boy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang