12

19.9K 938 19
                                    

Althareza Point of view

Kupandangi wajah damainya. Dia hanya terlihat jinak ketika tidur, tapi saat bangun dia adalah singa betina yang siap mencakar habis mangsanya. Rhaline....aku punya banyak kata untuk menjabarkan betapa cantiknya dia, dia sempurna, dan aku merasa beruntung karena dapat memilikinya sebagai istriku.

Sudah kuputar akalku habis-habisan untuk mensiasati bagaimana agar pernikahan kami berubah seperti pernikahan pasangan normal pada umumnya. Tidak peduli ia akan mencintaiku atau tidak, aku hanya ingin melihatnya nyaman hidup bersamaku. Aku ingin dia tersenyum, tertawa, dan merasa bahagia bukannya terus menutup diri dengan alasan ketakutannya terhadap pernikahan.

Aku pikir, ciuman di pinggir danau akan menjadi awal mula hubungan kami berubah menjadi lebih baik tapi ternyata aku salah. Rhaline menjadi tidak banyak bicara besok paginya dan dia menolak apa pun yang aku tawarkan untuknya. Aku tidak mengerti kepada Rhaline, aku tahu ia menikmati apa yang kami lakukan di puncak malam itu, dia bahkan dengan sendirinya naik ke atas pangkuanku tapi sikapnya benar-benar berubah setelah ciuman itu berlalu. Dia menjadi kaku. Aku pikir, Rhaline mendorong dirinya sendiri menjauh dariku, untuk yang ke sekian kalinya alasannya pasti ketakutan itu.

Rhaline bergerak kecil dalam tidurnya dan menggenggam tanganku yang berada di pipinya. Aku menghembuskan nafas pelan, menyesal harus membuatnya menungguku hingga ketiduran di sofa karena pekerjaan yang mendadak harus kuurus. Aku menggenggam balik tangannya kemudian mengangkat Rhaline ke dalam gendonganku. Kubawa ia ke kamar lalu kubaringkan tubuhnya ranjang dengan hati-hati. Kududukkan diriku tepat di sisinya, aku menikmati sejenak waktu untuk tenggelam memandangi wajahnya yang cantik sekali lagi sebelum aku pergi meninggalkan kamar ini.

Entah sampai kapan aku harus seperti ini. Memandanginya diam-diam saat matahari terbenam kemudian bertengkar dengannya saat hari terang. Jujur aku lelah, aku ingin kami memiliki hubungan yang baik—bukan sekedar baik, tapi mesra layaknya pasangan yang lain. Mungkin aku lah yang tidak pandai menaklukkan wanita, aku terlalu pemalu, payah, kaku, dan dingin untuk Rhaline yang blak-blakan. Aku kehabisan akal agar ia mau memperbaiki hubungan ini bersamaku. Aku bahkan sudah mengajaknya liburan berdua di puncak agar kami dapat saling dekat, aku juga sudah memaksa diriku untuk bersikap terbuka dan mendengarkannya, dan upaya terakhirku adalah aku telah menciumnya.

Apakah semua itu tidaklah cukup? Apa aku harus menyatakan perasaanku juga? Tidak ini terlalu cepat, Rhaline bisa kabur jika aku mengatakannya.

Kubaringkan tubuhku di sisi istriku yang terlelap pulas, aku ingin berada di sini sebentar saja sebelum aku kembali ke kamar tamu. Namun tanpa kusadari aku jatuh tertidur di sisi Rhaline sambil mendekap erat tubuhnya.

Besok paginya, saat matahari terbit aku terbangun lalu mengumpat diriku sendiri yang ketiduran di ranjang ini. Rhaline sudah tidak ada lagi di sisiku, ia pasti marah sekali.

Aku segera turun dari ranjang dan bersiap-siap untuk pergi bekerja lalu mencari Rhaline yang masih belum kembali ke kamarnya. Aku menemukan sosoknya di balik meja dapur. Dia memakai apron, rambutnya ia gulung asal-asalan, dan kedua tangannya sibuk bekerja menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Aku tahu dia berusaha menjadi istri yang baik setiap harinya, tapi aku tidak bisa berbangga diri sebab ia tidak melakukan itu untukku, dia melakukannya karena menurutnya itulah tugas wajib seorang istri.

"Selamat pagi" sapaku.

Gadis itu mengalihkan sebentar perhatiannya dari masakan demi memberikan senyum kecil untukku. Senyum yang bahkan tidak menyentuh matanya.

"Kamu ke butik hari ini?" tanyaku. Ia mengangguk.

"Perlu bantuan?"

Rhaline dengan cepat menggeleng, "Tidak Al, aku bisa sendiri"

Mama's boy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang