8

19K 920 18
                                    


Sementara Al pergi ke depan untuk membukakan pintu, aku mengangkat piring dan gelas kotor ke wastafel lalu mencucinya.
Sekali lagi aku menggali permintaan Althareza, dari mana dia mendapatkan ide agar kami mulai belajar untuk saling mencintai, apakah ibuku atau Tante Maya yang memberikannya ide tersebut? Oh, aku harap tidak.

"Rhaline"

Baru saja aku memikirkan kedua orang itu, kini mereka sudah mhncul di dapurku. Aku meletakkan piring yang sudah kucuci di tempatnya lalu menghampiri Mama dan Tante Maya yang mengambil duduk di meja makan.

"Tante, Mama, sudah sarapan?"

"Duh, kamu masih aja manggil Tante" tegur Tante Maya, "Bunda, oke?"

Aku menyengir sambil mengangguk patuh.

"Kita udah sarapan di rumah, duduk, Mama mau ngomong"

Ah, apalagi sekarang, perjodohan kedua?

Aku dan Al mengambil duduk, kali ini berdampingan sementara Mama dan Tante-maaf Bunda, lebih dulu menempatkan diri mereka di seberang kami.

"Kami berpikir untuk mengirim kalian pergi berbulan madu"

Sialan, apa?

Sontak kedua bola mataku membesar sementara Al tampak biasa saja dengan ide itu. Aku dapat melihat Bunda terkekeh geli melihat ekspresiku yang terkejut.

"Kalian 'kan baru menikah, anggap saja ini sebagai liburan berdua" ucap Bunda.

Aku menggeleng tidak setuju, "Kami tidak bisa pergi bulan madu"

"Kenapa?" tanya Mama dengan galak.

Aku menjadi gelagapan, "Umm...kami-maksud Rhaline, Al, dia tidak bisa pergi berlibur karena sebentar lagi dia harus kembali bekerja"

"Aku bisa" sahut Al dengan cepat. Benakku merutuki pria itu berulang kali, dia benar-benar ingin cari masalah denganku ya?

Aku menginjak kuat kaki pria itu namun dia tidak bereaksi apa-apa dan malah berkata, "Al juga sudah merencanakannya kami akan pergi ke puncak selama tiga hari, Al tidak bisa lama-lama karena harus masuk ke kantor hari kamis"

Mataku mendelik pria itu dengan kesal. Sungguh dia sudah merencanakannya? Oh, apa yang ia pikirkan saat menyusun rencana untuk mengajakku berbulan madu di puncak, ah pria ini....awas saja jika dia berani macam-macam denganku!

Aku mengalihkan wajahku saat tiba-tiba saja Althareza menoleh dan menatapku dengan kemesraan yang ia buat-buat di hadapan kedua orang tua kami.

"Biar bagaimana pun Rhaline butuh liburan" ucapnya dengan lembut seolah-olah dia adalah suami yang perhatian. Benakku memutar mata jengah, sungguh aku ingin muntah sekarang juga meski aku tahu kalimat itu ia tujukan untuk menyindirku.

Bunda tersenyum menggodaku dan wajahku langsung tertunduk malu. Sialan, Althareza.

"Bunda senang kalian berdua jadi akur gini"

Aku meringis ngeri.

"Bagus deh kalau Al sudah merencanakan bulan madunya, ini artinya kalian akan pergi besok 'kan?" tanya Mama. Al mengangguk.

Dan besoknya, pagi-pagi sekali, pria itu membangunkanku dan memaksaku untuk segera bersiap-siap melakukan perjalanan menuju ke puncak. Sungguh mataku masih terasa berat, aku sangat mengantuk tapi aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya. Akhirnya dengan terpaksa aku pun beranjak dari ranjang lalu mengemas barang-barangku kemudian membersihkan diri. Saat aku keluar dengan membawa ransel di punggungku, Al sudah berada di dalam mobil, duduk di kursi kemudi dengan wajah ketatnya.

"Kenapa lama sekali?" semburnya.

Aku sengaja menutup pintu mobil dengan membantingnya kuat, "Gak sabaran banget!"

"Rhaline jangan membanting pintu mobil" aku memutar mata jengah saat pria itu memperingatiku, "Oh terserah kamu saja, asal kamu tahu aku mengajakmu bulan madu juga terpaksa, aku melakukannya untuk Bunda"

Aku mengangkat kedua bahuku dengan acuh, "Tidak ada yang tanya"

Dan yup, pria itu langsung terdiam dengan rahang yang mengeras lalu mulai melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah kami. Membalasnya seperti itu saja sudah membuatku cukup merasa puas, yah meski aku terdengar seperti anak-anak tapi siapa yang peduli? Al adalah pria yang menyebalkan.

Perjalanan yang kami tempuh sangat jauh. Aku merasa sedikit kasihan kepada Althareza yang mengemudi sendirian, beberapa kali aku menawarinya untuk bergantian namun pria menyebalkan itu malah menolak tawaranku dengan ketus. Terkadang aku tidak mengerti apa yang salah dengannya.

Kabut cukup tebal saat kami mulai memasuki kawasan puncak. Di setiap pinggir jalan yang kami lalui aku dapat melihat kebun jeruk dan strawberry, juga hewan-hewan ternak yang sedang memakan rumput. Aku berinisiatif menurunkan kaca jendela mobil tanpa meminta izin Al, dan rambutku yang tergerai bergoyang tertiup oleh angin sejuk saat itu juga. Aku tersenyum kecil menghirup dalam aroma sejuk dan asri yang angin kirimkan untukku, berlibur tidak seburuk yang kupikirkan.

"Rhaline tutup kaca mobilnya, di luar sangat dingin"

Oh dasar anak mama! Aku memutar mata kemudian dengan berat hati menyudahi kegiatanku bermanja ria dengan udara puncak.

Mobil berbelok memasuki kawasan villa yang luas dan indah lalu berhenti di area parkir. Kami turun dari mobil kemudian melakukan check in kamar yang sudah Al booking kemarin malam. Pintu dibuka dan aku merasa puas mendapati kamar yang Al pesan ternyata cukup luas dengan satu sekat di antara ruang bersantai dan kamar tidur, ditambah balkon yang menampilkan pemandangan indah.

Aku meninggalkan Al saat ia melunasi pembayarannya lalu pergi menuju ke kamar dengan menggendong ranselku. Betapa kecewanya aku mendapati satu ranjang di kamar tidur kami, bukannya dua, apa ini artinya kami harus berbagi ranjang yang sama? Oh tidak, aku lebih memilih tidur di sofa.

Kedatangan pria itu membuatku tersentak. Al menatapku dengan dahi yang berkerut dalam kemudian bertanya, "Kamu tidak suka tempatnya?"

Aku menggeleng, "Suka, tempatnya bagus kok, tapi kenapa hanya ada satu ranjang?"

Al berjalan menuju ke lemari sambil berkata, "Kamar dengan twin bed sudah penuh"

Ah, omong kosong macam apa itu?

Meskipun kesal, aku memutuskan untuk diam dan ikut memindahkan pakaianku ke lemari yang sama dengan Althareza. Kami tidak membawa banyak pakaian, mengingat kami berada di puncak hanya selama tiga hari. Aku juga tidak membawa baju yang spesial, hanya piyama dan beberepa kaus juga celana panjang.

"Lebih baik kamu istirahat, nanti malam kita akan makan di restoran yang berada tak jauh dari sini, aku sudah pernah ke sana, makanannya enak"

Aku mengangguk setuju, "Ya" sahutku.

"Kamu bawa gaun 'kan?"

Aku menatap pria itu dengan dahi yang berkerut dalam lalu menggeleng. Untuk apa aku membawa gaun?

"Well, itu restoran yang cukup fancy, kamu tidak mungkin datang ke sana hanya dengan menggunakan piyama"

Oh.

"Tapi aku tidak bawa gaun" sahutku.

Al menghembuskan nafas pelan, "Tidurlah, aku bisa mengurusnya"

Aku mengangguk patuh lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci wajahku sebelum aku tidur dan mempersiapkan diri untuk makan malam bersama suamiku. Hanya makan malam, pasti tidak seburuk yang aku pikirkan.

- TBC -

Vote+comment for next!

Mama's boy (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang