Chapter 5

53 17 1
                                    

Slamet tercengang, melihat bangunan tua reot yang temboknya mulai retak. Kubahnya miring ke kanan. Jendelanya mulai keropos. Di beberapa titik lantai serambi ditumbuhi lumut, nyaris tidak layak disebut mushola.

Ia melangkah menuju kamar mandi. Di sana lebih memprihatinkan. Bak kamar mandi hanya terisi seperempat, dipenuhi dengan jentik-jentik nyamuk. Tak ada pompa air, hanya sebuah sumur yang tak terurus.

Tanpa Slamet sadari, Isna bersembunyi di balik pohon mangga. Gadis itu mengikutinya sejak dari rumah sambil menenteng sapu.

Slamet melepas baju koko, menyisakan kaos dalam yang menutupi badan. Sarung ia sisingkan sebatas lutut, segera menguras bak mandi, menyikatnya dengan telaten. Setelah bak mandi bersih, ia menimba sumur, mengisi bak air wudhu sampai airnya meluber.

Selepasnya, Slamet masuk ke mushola, mencari sapu, tapi tak menemukannya. Mengetahui hal itu, Isna segera mendekatinya, meletakkan sapu di serambi mushola. Dengan berjingkat ia kembali bersembunyi di balik pohon mangga.

Menyadari tak ada sapu di mushola, Slamet berniat meminjam sapu pada Haji Bakir. Baru beberapa langkah, matanya menangkap sebuah sapu yang tergeletak begitu saja di serambi. Ia merasa heran karena tadi tak melihat sapu di tempat itu.

Slamet mengedarkan pandangan ke luar mushola, siapa tahu ada orang yang baru meletakkan sapu tersebut. Mendadak ia tersenyum sendiri ketika pandangannya tertambat kepada sosok gadis berambut cepak yang sedang bersembunyi di balik pohon mangga.

“Terima kasih atas pinjaman sapunya!” Slamet berkata lantang agar suaranya sampai ke telinga Isna.

Terlanjur keberadaannya diketahui, Isna menghampiri Slamet. “Biar saja sapu itu untuk mushola.”

Slamet tersenyum kepada Isna. “Atas nama mushola, aku ucapkan terima kasih.”

“Memang kamu apanya mushola?”

Alih-alih menjawab, Slamet tertawa.

“Ditanya kok malah tertawa.” Isna pura-pura cemberut.

Slamet masuk, menyapu bersih seluruh ruangan. Isna memperhatikan gerak-geriknya nyaris tanpa kedip. Dalam hati, gadis itu mengagumi Slamet yang dengan ikhlas membersihkan mushola tanpa disuruh.

Slamet menoleh ketika lima anak kecil berlarian menuju mushola. Mereka terdengar berisik. Dua di antaranya berlomba memanjat pohon mangga yang berada di halaman mushola. Ketiga temannya bersorak, menyemangati keduanya.

“Tangkap!” Seorang anak berambut keriting melempar mangga ke arah tiga temannya yang berada di bawah. Mangga terempas di tanah. “Ah, payah! Begitu saja tidak bisa.”

“Lagi, lagi!”

Si keriting memetik beberapa buah mangga, kembali melemparkannya. Buah-buah itu menjadi rebutan teman-temannya.

Seorang anak bertelanjang dada tidak mau kalah dengan si keriting. Dengan cekatan ia memetik beberapa buah mangga. Ia lebih cerdik karena tidak melemparkannya, tetapi menyuruh salah satu anak untuk menangkapnya satu per satu.

“Ada Mbah Suto!” Salah seorang anak berteriak, membuat anak lainnya segera kabur.

Seorang kakek berjalan tertatih menuju halaman mushola. Bahu kanannya yang kurus mencangklong cangkul. Tangan kirinya menenteng sebuah bibit pohon pepaya.

Si keriting panik, melompat dari atas. Beruntung ia bisa mendarat dengan mulus.

Anak bertelanjang dada masih sempat memetik sebuah mangga, tidak panik sama sekali. Ia turun dengan hati-hati. Sampai di bawah, ia menghampiri sang kakek. “Terima kasih mangganya, Mbah!”

Kakek mengangguk senang.
Dari mushola, Slamet memandang penasaran lelaki renta itu. Ia bertanya kepada Isna. “Siapa kakek itu?”

“Orang-orang memanggilnya Mbah Suto!” Isna menjelaskan.

“Beliau yang menanam semua pohon di halaman mushola ini.”
Slamet terkesima, memandang Mbah Suto yang sedang menggali tanah di pojok barat. Ia menaksir umur kakek itu lebih dari 70 tahun.

“Banyak orang menganggapnya aneh.” Isna berujar.

“Aneh kenapa?”

“Lihatlah!” Isna menunjuk ke arah Mbah Suto. “Ia terus menanam pohon meskipun belum tentu bisa menikmatinya. Orang-orang bukannya berterima kasih, malah menganggapnya pikun, aneh, bahkan ada yang menuduhnya tidak waras.”

“Kenapa bisa begitu?”

Isna menoleh kepada Slamet. “Orang-orang berpikiran begitu karena memandang segala sesuatu berdasarkan kepentingan pribadi. Mereka berpikir, untuk apa menanam pohon jika tidak bisa menikmati hasilnya.”

“Jadi maksud kamu, orang-orang menganggap Mbah Suto melakukan sesuatu yang sia-sia karena menanam pohon, padahal ia sendiri belum tentu menikmati hasilnya?”

“Kira-kira demikian.”

Slamet merenung, mencoba mencerna penjelasan Isna. Dalam hati ia mengagumi Mbah Suto. Kakek itu terus melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, meski dirinya belum tentu merasakannya.

“Tampaknya sekarang Mbah Suto akan menanam pohon pepaya.”

Isna memperhatikan Mbah Suto yang sedang menggali tanah.
Mbah Suto terus menggali tanah dengan semangat, meski napasnya terengah-engah. Kaos lelaki renta itu bersimbah peluh. Tenaganya terkuras. Sesekali ia berhenti untuk menyeka keringat di dahi.

Merasa tidak tega, Slamet segera menghampiri Mbah Suto. “Biar saya bantu, Mbah!”

Mbah suto mengatur napas. “Terima kasih, Nak! Mbah masih mampu melakukannya.” Ia meletakkan bibit pohon pepaya ke dalam lubang galian.

Slamet berinisiatif membantu mengurug akar bibit pohon pepaya. “Dari mana kakek mendapatkan bibit pohon-pohon ini?”

Mbah Suto mengelap keringat di wajah menggunakan kaos. “Beli di kota. Kalau pohon pepaya ini, kakek melakukan pembibitan sendiri di belakang rumah.”

Slamet terkesima, menatap wajah keriput Mbah Suto. Ia malu kepada diri sendiri, kalah dengan lelaki renta di hadapannya.

“Kakek permisi dulu. Terima kasih telah membantu.” Mbah suto mengulurkan tangan.

Slamet menjabat tangan Mbah Suto. “Seharusnya saya yang berterima kasih.”

Mbah Suto mencangklong cangkul di bahu. “Assalamu alaikum!” Ia melangkah, meninggalkan halaman mushola.

“Waalaikum salam!” Slamet memandang punggung Mbah suto, mengagumi lelaki renta itu.

Isna menghampiri Slamet. “Menurutmu pohon apa yang baru saja Mbah Suto tanam?”

Slamet menoleh, sepasang alisnya terangkat. Ia balik bertanya. “Bukankah itu pohon pepaya?”
Isna menunjuk pohon lain. “Kalau itu?”

Slamet memandang pohon yang ditunjuk Isna. “Pohon mangga.”

“Seratus buat kamu!” Isna mengacungkan dua jempol. “Tetapi bagi Kak Ida, semua pohon di halaman mushola ini hanya memiliki satu nama, tidak ada pohon mangga atau pohon pepaya.”

“Oh ya?” Slamet mengerjap heran. “Lalu ia menamakannya apa?”

“Kak Ida menyebutnya pohon kebaikan karena yang ditanam Mbah Suto adalah kebaikan. Ia tidak menikmati buahnya, tetapi akan mendapatkan hasilnya nanti di akhirat.”

Slamet tersenyum sepakat. “Benar apa yang dikatakan kakakmu. Mbah Suto berinvestasi untuk kehidupan yang abadi, bukan untuk kenikmatan sementara.”

“Kakakku pintar bukan?” Isna tersenyum genit.

“Ya!” Slamet mengangguk mantap.

***

Chapter 6 besok publish. Insya Allah. Silakan beri krisar. Movement juga ya?

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang