Chapter 7

44 14 0
                                    

Pintu terbuka setengah. Seorang perempuan gemuk menyembulkan kepala. Tangannya menahan daun pintu. Ia menatap curiga seorang pemuda asing yang sedang berdiri di depan rumah.

“Assalamu alaikum!” Slamet mengangguk sopan. “Apakah benar ini rumah Parno?”

“Waalaikum salam!” Perempuan gemuk itu menatap Slamet curiga. “Kamu siapa?”

“Saya Slamet, tamu Haji Bakir!”

Pandangan perempuan gemuk itu meyisir tubuh Slamet dari atas sampai bawah. “Ada perlu apa?”

“Saya punya janji dengan Parno.”

Perempuan gemuk itu mengernyit. Sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan. Parno tidak pernah bergaul, sehingga menjadi aneh jika ada orang punya janji dengan anaknya. Ia mulai menduga-duga hal buruk, barangkali saja pemuda di depannya seorang polisi atau punya masalah dengan anaknya. “Janji apa? Kalau urusan hutang, saya tidak mau tahu!”

Slamet mencoba memahami situasi. Ia mencoba menjelaskan. “Tadi malam Parno meminta saya untuk mencarikan matahari. Katanya sudah  sebulan ini ia tak pernah menjumpainya. Saya menyanggupinya dengan tujuan agar ia mau pulang.”

“Parno sudah di rumah. Ia sedang tidur, jadi kamu bisa meninggalkan tempat ini.”

Slamet paham, perempuan gemuk itu mengusirnya untuk melindungi Parno. “Baik, saya permisi, maaf telah mengganggu. Assalamu alaikum!”

“Waalaikum salam!” Perempuan gemuk itu menutup pintu.

Slamet bergeming, kecewa karena tidak berhasil menemui Parno. Dengan langkah gontai ia bergegas menuju gedung madrasah.

***

Slamet tertegun memandang gedung berlantai dua di hadapannya. Ia nyaris tak percaya dengan penglihatannya. Sebelumnya ia menduga madrasah itu hanya sebuah bangunan biasa yang sudah lapuk, ternyata ia keliru. Terlepas dari banyaknya sarang laba-laba dan kondisinya yang kotor, gedung itu tampak kokoh.

Gedung madrasah berbentuk ‘L’ itu lantainya keramik. Rangka atapnya dari baja ringan, menopang genting-genting kualitas tinggi. Di setiap ruangan terdapat kaca berbingkai kayu jati. Anak tangga tersusun melingkar, menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua.

Slamet membayangkan, seandainya gedung itu terawat pasti menjadi bangunan paling megah di kampung ini. Sayang, kemegahannya menjadi sia-sia karena telah lama mangkrak.

Lamunan Slamet terusik oleh suara kemresek. Ia menoleh ke sumber suara. Tampak olehnya seorang perempuan gemuk sedang memasuki tempat pemakaman umum, di sebelah madrasah. Itu adalah orang yang ia temui tadi di rumah Parno.

Rasa penasaran membawa langkah kaki Slamet untuk membuntuti perempuan gemuk itu. Ia berjingkat, menghindari daun-daun jati yang berserakan agar tidak menimbulkan suara.

Mendadak perempuan gemuk itu menoleh. Matanya mengawasi sekitar. Slamet buru-buru bersembunyi di balik pohon jati. Dari tempatnya ia bisa dengan jelas mengamati gerak-gerik perempuan itu.

Perempuan gemuk itu memetik daun-daun kamboja, memasukannya ke dalam karung. Setiap kali menemui pohon kamboja, ia pasti memetik daun-daunnya. Ia menyisir seluruh area pemakaman, tak ada satu pun pohon kamboja yang terlewat. Setelah merasa cukup, perempuan itu mengikat bagian atas karung, lantas menggendongnya di punggung menggunakan selendang.

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang