Chapter 13

35 12 0
                                    

Sebuah mobil Toyota Land Cruiser bergerak pelan. Empat roda offroad-nya menggilas bebatuan bercampur lumpur. Sepasang lampunya menyorot tajam, menembus gelap malam.

Irama qasidah mengalun dari DVD. Suaranya menggema, membuat Rondhi, lelaki jangkung di balik kemudi mengangguk-anggukkan kepala, mengikuti tempo nada. Sesekali ia ikut bersenandung meski tidak tahu liriknya.

Di jok belakang, Kyai Langgeng menyiagakan pendengaran. Sayup-sayup telinganya menangkap suara, makin lama makin jelas. Suara itu serupa koor, tetapi tidak teratur. Lelaki berkopiah putih itu mencolek bahu Rondhi. “Matikan musik, buka jendela belakang kiri!”

Rondhi segera menuruti perintah tuannya. Ia memencet tombol pada remote audio. Suasana dalam mobil mendadak sepi. Kemudian jari kanannya memencet tombol power window. Kaca jendela belakang kiri terbuka.

Kyai Langgeng memasang pendengaran baik-baik. Suara mirip koor yang membuatnya penasaran itu sudah tak terdengar lagi. Yang ia dengar hanya suara imam sedang mengucap takbir.

“Ada apa, Kyai?” Rondhi penasaran.

“Itu suara Haji Bakir bukan?”

Rondhi menyiagakan pendengaran. “Benar, itu Haji Bakir sedang mengimami salat sepertinya.”

“Tadi aku mendengar suara mirip koor.” Kyai Langgeng terus menyiagakan pendengaran.

“Sampai di gang yang menuju mushola, kita berhenti!” Haji Bakir memberi perintah.

Rondhi memperlambat laju mobil. Sampai di tempat yang dimaksud Kyai Langgeng, ia menghentikan mobil.

Sayup-sayup terdengar suara Haji Bakir sedang membaca surat alfatihah. Haji Langgeng menunggu kalau-kalau mendengar suara selain itu. Tak lama kemudian terdengar suara aamiin yang cukup jelas.

“Kamu dengar itu, Rondhi?” Kyai Langgeng bertanya.

“Dengar, Kyai.” Rondhi menjawab. “Kedengarannya seperti banyak orang di mushola.”

“Tidak mungkin itu suara Mbah Suto bukan?”

“Tidak mungkin. Suara Mbah Suto pelan, nyaris tidak jelas.”

“Kalau begitu, itu suara siapa saja? Dari mana?”

“Sepertinya suara aamiin dari mushola.”

“Apakah mungkin ada makmum lagi selain Mbah Suto?”

Rondhi diam. Ia juga merasakan keanehan, seperti yang sedang dirasakan tuannya. Sepanjang yang ia tahu, sejak dulu hanya Haji Bakir dan Mbah Suto saja yang salat berjamaah di mushola. Sehingga terdengar aneh jika terdengar suara aamiin dengan suara cukup jelas. Anehnya lagi suara itu seperti diucapkan orang banyak.

“Sepertinya suara anak-anak.” Kyai Langgeng berujar.

“Benar, Kyai.”

“Jalan, Rondhi!” Kyai Langgeng menyuruh sopirnya.

“Baik, Kyai!”

Mobil bergerak lambat, membelah perkampungan. Kyai Langgeng masih terngiang dengan suara aamiin tadi. Hatinya diliputi keheranan. Otaknya dipenuhi pertanyaan yang sulit terjawab.

***

“Bagimana kuliahmu?” Kyai Langgeng bertanya kepada Imron, anaknya yang sedang duduk di ruang tengah.

“Lancar, Bah!” Imron menjawab. Ia meletakkan buku yang tadi di baca.

“Apa itu?” Kyai Langgeng menunjuk meja.

“Buku filsafat, Bah!”

“Bukan itu yang Abah maksud.” Kyai Langgeng penasaran dengan secarik kertas berwarna hijau di bawah buku yang tadi dibaca anaknya. Ia segera mengambilnya.

“Itu selebaran, Udhay yang membagikannya.” Imron menjelaskan kepada bapaknya.

Kyai Langgeng membaca isi selebaran. Setelah selesai ia tertawa. “Ada-ada saja. Kamu sudah baca?”

“Sudah, Bah!”

“Dikiranya mudah menghidupkan kembali madrasah di kampung ini. Haji Bakir ini kurang kerjaan saja.” Kyai Langgeng terkekeh sendiri. “Di sini yang ramai itu togel. Dan yang paling menarik perhatian itu pertunjukan dangdut. Kalau madrasah, siapa juga yang tertarik?”

Imron tersenyum masam. Meski tidak sependapat, tetapi tak berani menunjukkannya. Dalam beberapa hal ia berseberangan dengan pemikiran bapaknya.

“Dakwah itu harus tepat sasaran dan tidak kaku.” Kyai Langgeng mengisap rokok. Asapnya mengepul, memenuhi ruangan. “Sekarang zaman teknologi informasi. Kebanyakan orang berada di dunia maya. Maka kita juga harus ke dunia maya. Kalau masih terpaku di dunia nyata, siapa juga yang akan mendengar dakwah kita?”

Imron tersenyum dipaksakan.

“Lihatlah Abah!” Kyai Langgeng menunjuk dada sendiri. “Abah memulai dakwah dari youtube karena sadar orang lebih senang main ponsel pintar ketimbang menghadiri pengajian. Sekali posting, ratusan like dan subscribe. Setelah mengenal siapa yang berbicara, baru mereka mau mengunjungi pengajian di dunia nyata.”

Imron diam, mulai tidak nyaman.

“Seharusnya Haji Bakir bermusyawarah dulu sama Abah sebelum menghidupkan madrasah. Kitab-kitab kuningnya tidak akan banyak berguna jika masih menggunakan cara-cara kuno.”

Dari dalam kamar, Nyai Langgeng menyerahkan sebuah undangan kepada suaminya. “Abah dapat undangan acara pembukaan madrasah, lusa.”

Alih-alih membacanya, Kyai Langgeng mencampakkan undangan tersebut ke meja.

“Sebaiknya Abah datang!” saran Nyai Langgeng.

Kyai Langgeng membuang muka.

“Madrasah itu dibangun di atas tanah wakaf, milik almarhum Kyai Abdul Ghani.” Nyai Langgeng duduk di kursi sebelah suaminya. “Beliau membangun dengan biaya besar. Bagus kalau sekarang dihidupkan lagi.”

“Dulu setelah berdiri, bisa bertahan berapa lama?” Kyai Langgeng memotong.

“Karena tak ada yang meneruskan beliau.” Nyai Langgeng berargumen.

“Itu masalahnya!” Kyai Langgeng menggebrak meja. “Keluarga Kyai Abdul Ghani lebih memercayakan madrasah itu kepada Haji Bakir ketimbang Abah yang banyak makan asam garam dalam dunia dakwah.”

“Haji Bakir sudah berusaha, Abah!” Nyai Langgeng menyela.

“Umi selalu saja membela Haji Bakir!” Kyai Langgeng kesal. “Apa karena umi ingin menjodohkan Ida dengan Imron?”

Nyai Langgeng diam, merasa tak ada guna berdebat dengan suaminya.

“Banyak gadis cantik dan salihah selain Ida.” Kyai Langgeng menoleh kepada Imron. “Abah akan carikan yang lebih baik darinya. Kamu berhentilah memikirkan perawat itu.”

Imron mendengus kecewa. Telah lama ia memendam rasa cinta kepada Ida. Harapan untuk memilikinya sangat tinggi. Apalagi ketika tahu ibunya sangat mendukung. Tetapi ia harus menanggung kecewa yang amat dalam ketika tahu Abah tidak menyetujuinya.

“Kalau menjadi menantunya, cara pikir kamu akan sama kuno dengan Haji Bakir!” Kyai Langgeng beranjak dari ruang tengah. Ia sangat kesal.

Nyai Langgeng menatap Imron prihatin. “Sabar, Nak!”

Imron tersenyum masam.

Nyai Langgeng mendekati Imron. Dengan lembut, ia mengusap rambut anaknya. “Kalau jodoh, tak akan ke mana. Sekarang fokus saja untuk menyelesaikan skripsi.”

“Ya, Umi!”

***

Bersambung ya...
Besok chapter 14 publish. Insya Allah. Doakan biar author selalu sehat ya. Aamiin...

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang