Chapter 26

56 5 0
                                    

Di dekat meja, seekor induk kucing sedang bersama anak-anaknya. Ia rebahan dengan posisi miring. Anaknya yang bulunya belang-belang hitam putih menyusu kepadanya dengan posisi miring, tidak menyisakan ruang untuk saudara-saudaranya yang lain. Anak lainnya yang berwarna putih campur cokelat juga menyusu. Posisinya cukup sulit, sepasang kaki depan memijak lantai, sedangkan sepasang kaki belakang menumpu pada tubuh induknya. Satu ekor anak kucing lainnya yang juga bulunya belang-belang bengong, memandang kedua saudaranya yang sedang menyusu.

“Kasihan si belang satunya. Ia seperti anak tiri saja.” Ibu berujar. Wajahnya iba, melihat anak kucing yang tidak bisa menyusu kepada induknya.

Slamet terkekeh mendengar ujaran Ibu. “Mungkin ia sudah kenyang, Bu! Kalau tidak, ia akan merangsek ke induknya.”

Ibu menoleh ke arah Slamet. Ia tak sependapat dengan anaknya. Sebagai seorang ibu ia merasa lebih paham. “Dari wajahnya, Ibu yakin, ia ingin menyusu! Jahat benar kedua saudaranya itu. Seharusnya mereka menyisakan tempat, agar semua bisa menyusu.”

Kekehan Slamet berubah tawa. Ekspresi iba Ibu menurutnya tampak lucu.

“Kasihan sekali.” Wajah Ibu semakin iba.

“Yang kasihan itu aku, tidak punya adik.”

Ibu menoleh. Wajah ibanya berubah galak. Ia menanggapi serius ucapan Slamet. Baginya itu semacam curhat colongan. Beruntung, anak itu baru mengatakannya sekarang, setelah ia menjanda dan menopause. Kalau bilang dari dulu, almarhum suaminya pasti punya alasan kuat untuk mendesaknya punya anak lagi.

Alih-alih takut, Slamet menggoda Ibu. “Apa nanti kita minta Ustaz Amin untuk mencarikan pendamping hidup juga buat Ibu?”

Sepasang mata Ibu melotot.  “Ibu tidak akan memberikan hati ini kepada lelaki selain bapakmu!”

“Ciyee, so sweet!” Slamet terbahak-bahak, semakin semangat menggoda Ibu. “Lagi pula, siapa juga yang mau sama Ibu, sudah keriput, beruban pula!”

Ibu berkacak pinggul, berlagak kesal. “Kamu tampan karena Ibu berwajah cantik! Jadi jangan meremehkan Ibu!” Selepasnya, ia tertawa.

Anak kucing yang tadi bengong berjalan mendekati induknya. Dengan usil, kaki kanan depannya menginjak kepala saudaraya yang berbulu putih campur cokelat. Yang kepalanya diinjak tidak terima. Ia balas mencakar. Maka terjadilah perkelahian.

“Anaknya bertengkar, ibunya diam saja!” Ibu menggerutu, menunjukkan wajah kesal. “Ibu macam apa itu?”

Slamet terpingkal-pingkal, tak tahan dengan keluguan Ibu yang menganggap kucing layaknya manusia. Ditertawakan anaknya, Ibu cemberut.

“Ibu semakin cantik saja kalau sedang cemberut begitu,” goda Slamet sambil menyinggung lengan Ibu.

Ibu kesal betulan. “Jangan samakan Ibu dengan Rachela!”
Wajah Slamet mendadak redup. Tawanya seketika sirna.

“Kenapa anak kucing suka bertengkar?” Ustaz Amin tiba-tiba muncul dari dalam. Ia menyambut kedua tamunya dengan senyum khas.

Slamet bangkit, menyalami Ustaz Amin. Ia mencium punggung tangan gurunya.

Ustaz Amin tersenyum kepada kedua tamunya. “Maaf, kalau membuat Ibu dan Slamet terlalu lama menunggu.”

“Tidak kok, Ustaz!” ujar Ibu. “Kami terhibur sama kucing-kucing yang lucu itu.”

Ustaz Amin mengerjap. “Oh iya?” Kemudian ia menoleh kepada Slamet. “Kamu belum jawab pertanyaanku, Slamet! Kenapa anak kucing suka bertengkar?”

Slamet berpikir keras, mencari jawaban. Ini pertanyaan paling sulit nomor dua yang pernah ia dengar. Paling sulit pertama menurutnya adalah pertanyaan ‘kapan kamu menikah?’ Untung pertanyaan itu belum pernah ia terima.

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang