Lampu di dalam tenda bersinar terang. Empat meja tertata rapi di atas tikar. Warung lesehan itu dipenuhi pembeli. Pemilik warung tampak cekatan menggoreng nasi. Gerakannya seperti chef handal. Ia semakin bersemangat melihat kedatangan tiga orang lelaki.
“Kamu saja!” Giant mendorong Uday.
Tubuh Uday terlalu berat untuk didorong tangan Giant. Ia tak begeser sama sekali.
“Aku terus!” Uday mengeluh. “Sekali-kali kamu kenapa?”
Melihat kedua anak band itu saling lempar, Slamet mengalah. “Biar aku saja!” Ia memasuki warung tenda.
Dua gadis remaja yang sedang duduk lesehan saling bisik, melihat kedatangan Slamet.
“Maaf mengganggu.” Slamet membagikan selebaran. “Barangkali mbak-mbak ini punya adik, madrasah membuka pendaftaran murid baru.”
“Madrasah apa, Mas?” Gadis bergigi kawat tersenyum genit, cari perhatian.
“Madrasah Diniyah Awaliah!”
“Apa itu, Mas?” Seorang ibu-ibu bertanya.
Slamet menoleh, ia memberikan selebaran kepada ibu tersebut. “Madrasah membuka pendaftaran murid baru.”
Slamet membagikan selebaran kepada seluruh pengunjung warung. Setelah selesai ia berkata kepada pemilik warung. “Terima kasih, Pak!”
“Sama-sama!” Pemilik warung menjawab tanpa memandang Slamet. Ia terlalu fokus dengan pekerjaannya.
“Nasi goreng dua bungkus, Pak!”
Slamet celingukan, merasa tidak asing dengan pemilik suara itu. Seketika matanya terbelalak, melihat perempuan berwajah bundar sedang berdiri di depan sebuah toko. Sisa selebaran di tangannya jatuh, melayang terbawa angin, lantas terempas ke tanah.
Rasa rindu dalam hati Slamet yang telah lama mati, mendadak hidup lagi. Serupa zombie, rasa itu bergentayangan, mengorek luka lama yang sudah mengering.
“Rachela!” Tanpa sadar Slamet mengucap lirih nama yang dulu sering bermain-main dalam hati.
Angin kemarau mengibas-ibas rambut Rachela. Perempuan itu tidak menyadari sedang diperhatikan Slamet.
Hati Slamet ikut terkibas-kibas, menampar dinding hati, menyingkap perasaan cinta yang layu. Rasa cinta itu mendadak subur kembali, seumpama biji kacang di musim hujan. Biji itu tumbuh subur dalam dinding hati, membuat dadanya terasa sesak.
“Pedas, Mbak Rachela?” Pemilik warung bertanya lantang.
“Satu pedas, ss-sla...” Rachela menggantung kalimat. Mulutnya serasa terkunci. Pandangannya nanar, melihat seorang lelaki tampan sedang berdiri di belakang pemilik warung. “Ss-Slamet?”
“Slamet? Maksudnya?” Pemilik warung bingung.
Rachela terpaku, mengabaikan pemilik warung. Ia seperti tidak percaya dengan penglihatan sendiri. Berkali-kali dikucek matanya, tetapi yang dilihatnya tetap sama.
Kedua pasang mata saling bertatapan dengan masing-masing bibir terkatup. Waktu serasa bergerak lambat. Tak ada kata terucap di antara mereka. Hanya hati yang bicara. Slamet menyimpan luka. Rachela memelihara rasa bersalah.
“Sudah, Ustaz?” Giant membuyarkan lamunan Slamet.
Slamet terkesiap. Buru-buru ia mengangguk. “Mari pulang!” Ia melangkahkan kaki, meninggalkan warung tenda dengan perasaan campur aduk.
“Slamet!” Reflek Rachela memanggil Slamet. Perasaan bersalah menggerakkan kakinya, mengejar lelaki yang pernah menghiasai hari-harinya, bertahun-tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
Hài hướcSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...