Slamet menarik resleting tas ransel. Sebelum meninggalkan kamar, ia membereskan tempat tidur. Tanpa ia sadari di luar kamar Isna memerhatikannya dengan hati sedih. Di belakang Isna, Uday, giant, dan Sissy merasakan hal yang sama.
Slamet menarik napas dalam-dalam, menyesal tidak bisa melaksanakan amanat Ustaz Amin dengan baik. Tugasnya untuk menghidupkan madrasah terhenti. Tetapi ia tak ingin berlarut dalam penyesalan. Meski merasa bersalah, tetapi ia menganggap ini pelajaran berharga, agar selalu berhati-hati setiap kali melakukan sesuatu.
Ada dua kekhilafan yang membuat Slamet sadar. Pertama, ia lalai tidak menemui pengurus yayasan periode sebelumnya, sebelum mulai menghidupkan kembali madrasah. Kedua, meski berniat baik, tetapi ia tak melakukan pertimbangan dulu sebelum bertindak.
Semua sudah terjadi. Slamet merasa tak ada guna meratapinya. Yang ada dalam benaknya sekarang adalah belajar dari kesalahan. Ia tak mau jatuh ke dalam lubang yang sama. Apa yang telah ia lakukan selama seminggu di Dukuh Pesawahan, akan dijadikan pengalaman hidup.
Dengan berat hati, Slamet menutup pintu kamar. Saat membalikkan badan ia terkejut, melihat Isna berurai air mata, menatapnya nyaris tak berkedip.
Berdiri di sebelah Isna, Sissy menatap Slamet, sedih. Matanya berkaca-kaca. “Kami akan merindukan Ustaz!”
Slamet tersenyum dipaksakan. “Aku juga akan merindukan kalian!”
Giant maju, meninju lengan Slamet dengan tenaga lemah. “Semangat Ustaz!”
“Terima kasih.” Slamet menepuk bahu kurus Giant.
Uday terpaku, tak kuat menahan sedih, hanya air mata yang bicara.
“Hey, kamu tidak pantas menangis begitu.” Slamet tersenyum meledek, bermaksud membuat Uday tertawa. “Malu sama tubuh gempalmu.”
Uday tersenyum tertahan.
“Apakah Ustaz akan mengingat kami?” Kristal bening di kedua mata Sissy mencair, menjadi buliran-buliran, kemudian pecah, membasahi pipi.“Tentu saja, Sissy!” Slamet mengangguk mantap. “Sebelum mengenal kalian, aku tidak punya banyak teman. Jadi kalian masuk nominasi sebagai teman terbaik.”
Sissy memaksakan diri untuk tersenyum.
“Tidak lucu!” Isna pergi menanggung sedih tak tertahankan.
“Biarkan saja, Ustaz!” Sissy mencegah Slamet yang akan mengejar Isna. “Ia ingin menguras semua air mata di kamarnya. Paling lima menit selesai.”
Slamet mengernyit. “Begitu?”
“Begini, bukan begitu!” Sissy bercanda, berusaha mencairkan kesedihan teman-temannya.
Usaha Sissy cukup berhasil. Uday dan Giant tersenyum.
“Boleh kami memeluk, Ustaz?” Giant bertanya.
“Boleh, hanya kau dan Uday.” Slamet melirik Sissy. “Kalau Sissy, nanti yang punya marah.”
Sissy terkekeh, sambil mengusap air mata di pipi.
Tanpa basa-basi Uday memeluk Slamet erat-erat, disusul Giant. Sissy menyaksikan itu dengan perasaan terharu.
“Sudah-sudah.” Sissy mengingatkan, membuat kedua temannya melepaskan pelukan.
“Aku harus pamitan dengan Haji Bakir!” Slamet berjalan menuju ruang tamu, diikuti ketiga anak band itu.
Sampai di ruang tamu, telah berkumpul, Haji Bakir, dan Ustaz Amin.
“Sudah selesai acara perpisahannya?” Ustaz Amin meledek.
Slamet tersipu. “Sudah, Ustaz!” Ia duduk bersebelahan dengan Ustaz Amin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...