Teruntuk Ida, bunga yang beberapa hari ini layu.
Sebelum ini, bercarik-carik kertas telah kuhabiskan untuk merangkai kata. Semua berakhir pada tempat sampah. Mereka bahkan belum sempat merasakan kehangatan amplop harum bermotif mawar. Andai bisa berkata, barangkali mereka akan memohon kepadaku untuk mengantarkannya kepadamu. Andai punya hati, mungkin mereka berharap kau sudi menyentuhnya. Lalu, kata-kata di dalamnya ikut latah, berharap bisa tenggelam dalam sepasang telaga beningmu. Andai bisa memilih, kertas-kertas dan kata-kata itu ingin engkau saja yang meremas dan mencampakkannya, bukan aku! Namun, mereka tak seberuntung secarik kertas ini yang gagal kucampakkan.
Bungaku, aku tak akan pernah meminta maaf kepadamu atas rasa yang terlanjur kukebirikan. Aku tak sudi memohon ampun kepadamu atas rindu yang gagal kusampaikan. Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu karena telah menjadi beban hatimu.
Aku tak pernah memintamu untuk menerimaku. Tak sekalipun aku memaksamu untuk memahami perasaanku. Lantas, kenapa kau sandarkan semua gelisah, seolah aku telah merampas senyum dari wajahmu. Carilah sesuatu yang kau suka. Pilihlah seseorang yang menurutmu terbaik. Lakukanlah, selagi itu bisa mengembalikan rekahan pada sudut bibirmu. Bahkan jika itu harus mengabaikan seseorang yang dulu selalu melakukan segala cara hanya demi membuatmu tertawa.
Aku tak akan melakukan apa-apa, sampai memastikan senyum manis itu kembali tegaskan cantikmu. Aku hanya akan menunggu. Biarlah aku tetap di sini, melihatmu bahagia dari jauh. Itulah kebahagiaan sejatiku.
Imron
Kedua tangan Ida masih bergetar selepas membaca surat dari Imron. Air matanya terus mengalir. Tubuhnya berguncang. Bibirnya bergerak-gerak. Kemudian dipejamkan matanya kuat-kuat, mengusir rasa bersalah yang hebat.
Lemas rasanya tubuh Ida, mengingat-ingat setiap kata yang tadi dibacanya. Jari-jarinya menegang, membuat sepucuk surat ditangannya terlepas, kemudian terempas di atas dadanya.
Surat itu baru saja menampar akal sehatnya, membuatnya sadar telah menyakiti perasaan seorang yang dulu sering bermain-main dalam ingatannya. Imron, lelaki yang ia kenal sejak kecil itu telah menghiasi hari-harinya. Anak bermata teduh itu adalah lelaki kedua setelah bapaknya yang tak pernah berhenti membuatnya merasa berarti.
Belum lekang dalam benaknya sepenggal peristiwa lima belas tahun lalu. Waktu itu ia mengusir bapaknya agar pulang. Ia malu karena hanya dirinya saja yang diantar lelaki pada hari pertamanya masuk SD. Bapaknya bersikeras tidak mau pulang, tidak tega meninggalkan anak sulungnya.
“Bapak, pulang!” usirnya dengan nada berteriak.
Ia mengulanginya berkali-kali, sampai semua orang memandang ke sepasang bapak dan anak perempuan yang saling tidak mau mengalah itu. Saat suaranya serak, ia menangis. Saat itulah bapaknya terpaksa menurutinya, pergi dari depan kelas, lantas mengawasinya dari jauh.
Ida masih ingat. Ia melakukan itu, di samping karena malu hanya dirinya yang diantar lelaki, juga karena ia cemburu melihat teman-temannya yang lain bisa bermanja dengan ibunya. Ia rindu kepada perempuan yang ia sudah lupa seperti apa wajahnya itu. Ibunya meninggal saat ia masih berusia 3 tahun, beberapa jam setelah melahirkan adiknya.
Ida juga masih ingat, ia akhirnya menyesali sikapnya yang telah mengusir bapaknya. Ia merasa takut untuk masuk ke dalam kelas sendirian. Ia hanya mematung di depan pintu, sampai ada seorang anak lelaki dari kelas 3 datang menghampirinya.
“Ayo aku antar masuk kelas.” Anak kelas 3 itu meraih pergelangan tangan Ida.
Ida menurut saja. Entah kenapa ia mau saja ditarik ke dalam kelas. Sampai saat ini ia masih belum mengerti dengan sikapnya waktu itu. Hanya saja, yang masih bisa ia ingat, dirinya merasakan ketakutannya mencair sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...