Tak ada perbedaan jumlah shaf pada setiap kali salat berjamaah fardhu di mushola Nurul Yakin. Dhuhur, Asar, Maghrib dan Isya hanya terdiri dari 2 baris. Baris paling depan ditempati Haji Bakir bertindak sebagai imam. Barisan di belakangnya terdiri dari dua makmum, yaitu Slamet dan Mbah Suto. Begitupun dengan salat subuh.
Berdasarkan pengalaman Slamet, di mushola atau masjid yang pernah disinggahi, rata-rata jumlah shaf salat maghrib dan isya jumlah jamaahnya lebih banyak ketimbang waktu salat lain, tetapi itu tidak berlaku di mushola Dukuh Pesawahan yang hanya diikuti oleh dua pelanggan tetap, yaitu Haji Bakir dan Mbah Suto.
Slamet berpikir, selama ini, sebelum kedatangannya, kemungkinan salat berjamaah di mushola itu hanya diikuti oleh saeorang imam dan seorang makmum saja. Ia belum pernah merasakan salat subuh di sini, tetapi menduga akan sama saja.
Selepas salat isya, Slamet berzikir sangat lama. Ia bermunajat kepada Allah agar diberi kekuatan untuk memakmurkan mushola dan menghidupkan kembali madrasah seperti yang diamanatkan Ustaz Amin, gurunya.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki, mendekati mushola. Slamet terkesiap, menyiagakan pendengaran. Telinganya menangkap suara yang mencurigakan.
Bug! Bug! Bug!
Slamet menoleh. Tampak olehnya sesosok lelaki seumuran dengannya sedang memukul-mukul tiang mushola. Ia berhenti berzikir, menemui lelaki itu. “Assalamu alaikum!”
Lelaki itu berhenti memukuli tiang, menatap Slamet dengan sorot mata aneh.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” Slamet bertanya hati-hati. Ia mencium gelagat mencurigakan dari lelaki di depannya.
Mata lelaki itu berbinar. “Kamu mau membantuku?”
“Insya Allah.” Slamet mengulurkan tangannya. “Aku Slamet, kalau boleh tahu siapa nama kamu?”
Lelaki itu mengabaikan uluran tangan Slamet. “Kalau begitu tolonglah aku!”
Slamet tersenyum bijak. “Apa yang bisa aku bantu?”
Lelaki itu mengguncang-guncang tubuh Slamet. “Tolonglah aku!”
Dengan halus Slamet melepaskan cengkeraman tangan lelaki itu dari bahunya. “Duduklah, katakan apa yang harus aku lakukan untukmu?”
Lelaki itu menuruti saran Slamet. Ia duduk bersila di serambi mushola. “Jadi begini, sudah sebulan aku tidak pernah melihat matahari. Maukah kau mencarikannya untukku?”
Slamet mencoba mencerna maksud lelaki di depannya. Ia menduga orang itu mengalami gangguan jiwa. Tetapi ia tetap bersikap bijaksana. “Malam ini, matahari tidak bisa ditemui. Cobalah untuk mencarinya kembali besok pagi.”
“Aku maunya sekarang!” Lelaki itu memaksa.
Slamet berpikir sejenak.
“Tolonglah aku!”
Slamet berkompromi, memberi solusi. “Baik, aku akan menunggu sampai matahari muncul, insya Allah nanti kamu kukabari.”
Lelaki itu menatap Slamet bimbang.
“Percayalah padaku.” Slamet berusaha meyakinkan. “Beritahu rumahmu agar aku bisa mengabari jika matahari sudah muncul.”
“Rumahku depan pos kamling, bercat hijau.”
“Baik, sekarang kamu boleh pulang. Tunggu saja kabar dariku.”
“Pulang?” Lelaki itu menggeleng. “Malam ini aku harus kerja.”
Slamet mengangguk-angguk. “Kalau begitu silakan bekerja.”
Lelaki itu menepuk bahu Slamet. Seringainya aneh. “Jangan lupa kabari aku ya?” Ia tertawa, melenggang pergi, meninggalkan Slamet.
“Insya Allah!” Slamet berkata lirih, menatap kepergian lelaki itu sambil menghela napas lega.
Tidak mau berurusan dengan lelaki aneh tadi, Slamet memutuskan untuk pulang.
Di kamar, Slamet memikirkan kejadian itu semalaman. Ia penasaran dengan lelaki itu. Meski dari ucapannya mengindikasikan gangguan jiwa, tapi ia tak ingin berspekulasi tentang lelaki yang belum ia ketahui namanya itu. Baginya, tidak etis menilai seseorang hanya berdasarkan kejanggalan perilaku.
Slamet sudah berjanji akan mencarikan matahari, sehingga ia harus menepatinya. Ia akan mendatangi rumah lelaki itu besok, setelah matahari terbit. Itu tidak terlalu sulit, tetapi untuk melakukannya ia harus tahu alasan kenapa lelaki itu merasa kehilangan matahari.
Semalaman memikirkan lelaki itu membuat Slamet sulit tidur. Ketika bangun, ia terkesiap oleh kumandang azan subuh dari mushola. Mbah Suto selalu tepat waktu. Ia segera merapikan tempat tidur, mandi, berwudhu, kemudian keluar kamar.
Saat berjalan menuju mushola, Slamet dikejutkan dengan sosok lelaki yang sedang duduk di serambi. Itu lelaki yang semalam memintanya untuk mencarikan matahari.
Melihat kedatangan Slamet, lelaki itu langsung mencegat. “Sudah ketemu belum mataharinya?”
Slamet menarik napas panjang. Ditepuknya bahu lelaki itu. “Matahari sedang berjalan, saat ini belum bisa terlihat. Jadi mohon bersabar satu atau dua jam lagi.”
“Baik, aku tunggu di rumah.” Lelaki itu merasa gembira. “Aku pulang dulu!”
Slamet menghela napas lega.
“Kasihan Parno. Ia mengalami depresi gara-gara motor dan tabungannya ludes akibat sering beli kupon togel.” Haji Bakir yang baru sampai mushola, berujar.
“Namanya Parno?” Slamet bertanya.
“Iya. Sebenarnya ia anak baik. Lingkungan telah merusak pikirannya.” Haji Bakir menjelaskan. “Apakah ia memintamu untuk mencarikan matahari?”
Slamet tersenyum, mengiyakan. “Tadi malam ia meminta tolong padaku.”
“Semua orang yang ditemuinya akan dimintai tolong seperti itu.” Haji Bakir tersenyum prihatin.
Slamet mengangguk paham.
“Ustaz sudah berwudhu?” Haji Bakir bertanya.
Slamet merasa malu disebut ustaz, tetapi ia tak bisa melarangnya. “Sudah tadi di rumah.”
“Baik, kita langsung saja melaksanakan salat jamaah. Tak ada lagi yang bisa ditunggu.” Haji Bakir melangkah, memasuki mushola.
Slamet mengekor Haji Slamet sambil mengingat-ingat kembali kejadian tadi malam. Dalam hati ia tetap bertekad akan menemui Parno untuk menepati janji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...