Chapter 11

64 12 0
                                    

Untuk kali pertama, selama dua dekade terakhir, salat maghrib berjamaah di mushola Nurul Yakin diikuti oleh 17 orang. Isna mengomando teman-teman bandnya. Dengan kompak mereka datang bersama-sama. Tetapi mereka masih kalah kompak dengan Sunoto dan teman-temannya yang datang pada detik-detik akhir sebelum takbirotul ihrom.

Suara aamiin menggema di ruangan mushola, mengundang rasa penasaran orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Beberapa di antaranya penasaran, keluar rumah, menyakiskan pemandangan yang baru kali ini terjadi di kampung mereka.

Teman-teman Sunoto yang rata-rata berusia di bawah 13 tahun, menggunakan momen aamiin untuk berteriak sekencang-kencangnya, berlomba, suara siapa yang paling kencang. Beruntung mereka masih tertib dalam melakukan gerakan salat, meski sesekali saling sikut.

Selepas salam, Sunoto dan teman-temannya akan langsung kabur, jika tidak dicegah Uday.

“Jangan pulang dulu sebelum selesai berdoa!” tegur Uday dengan suara setengah berbisik.

Anak-anak itu menurut, tidak berani membantah remaja bertubuh gempal itu. Tapi namanya anak-anak, mereka tetap berisik.

“Psstt!” Uday memberi isyarat agar diam.

Haji Bakir mengucapkan doa. Semua jamaah menengadahkan tangan, mengamini. Sunoto dan teman-temannya mengucap aamiin dengan suara kencang, sambil cengengesan.

Merasa terganggu, Uday mengepalkan tinju ke arah Sunoto dan teman-temannya. Anak-anak itu memang memelankan suara, tetapi tetap cekikikan dengan suara tertahan.

Selepas berdoa, Haji Bakir meminta perhatian para jamaah, ingin memberi kata sambutan. “Alhamdulillah, jamaah salat maghrib lebih banyak dari biasanya. Semoga selanjutnya akan tetap seperti ini, bahkan bertambah.”

“Aamiin!” Slamet berucap.

“Aamiin!” Teman-teman Sunoto menirukan suara Slamet. Mereka mengucapkannya dengan suara kencang.

“Mohon kepada anak-anak untuk tertib. Mushola adalah rumah Allah. Bersikaplah baik!” Haji Bakir mengingatkan. “Pak Haji bangga kepada kalian. Salat itu harus dilakukan sedari kecil, agar ketika akil balig nanti sudah terbiasa. Ajak teman-teman kalian yang lain untuk salat berjamaah di mushola.”

Sunoto mengangguk-anggukkan kepala. Teman-temannya mengikuti. Gerakkan kepala mereka seperti sedang senam.

“Saya bersyukur, gedung madrasah sudah siap difungsikan. Sehingga pada kesempatan ini, saya akan membentuk struktur kepengurusan.” Haji Bakir melanjutkan. “Sebelumnya, saya ucapkan kepada Ustaz Slamet atas keikhlasannya dalam menghidupkan kembali madrasah yang sudah lama mangkrak. Juga kepada anak-anak band yang telah membantu, saya ucapkan terima kasih.”

Sunoto menggaruk kepalanya yang gatal. Lagi-lagi, teman-temannya menirukannya.

“Ketua yayasan tetap dipegang oleh Ustaz Amin. Isya Allah, besok beliau akan datang untuk meresmikan gedung madrasah. Seperti amanat beliau, kepala madrasah saya yang pegang. Kemudian dengan wewenang yang saya miliki, saya menunjuk Slamet sebagai wakil kepala sekolah. Ida menjadi sekretaris, dan Isna sebagai bendahara. Termasuk saya, semua merangkap menjadi pengajar.”

Merasa kesal karena selalu ditirukan, Sunoto meninju lengan teman di sebelah kanannya. Teman di sebelahnya meninju teman di sebelahnya lagi, begitu seterusnya. Kemudian mereka cekikikan.

“Sunoto!” Haji Bakir menatap Sunoto.

Sunoto merasa takut karena menganggap Haji Bakir sedang menegurnya. Ia menunduk dengan wajah tegang.

“Sunoto dan teman-temannya, lusa kalian bisa mulai belajar di madrasah.”

Sunoto mengusap dada, merasa lega. Seperti sebelum-sebelumnya, teman-temannya menirukannya.

“Kalian harus mendaftar dulu!”

“Iya, Pak Haji!” Sunoto menimpali.

“Iya, Pak Haji!” Teman-teman Sunoto menirukannya.

“Demikian susunan pengurus madrasah yang saya bentuk. Mulai malam ini juga kita langsung bekerja.” Haji Bakir menutup sambutannya.

Sebelum jamaah bubar, Haji Bakir menyuruh Ida untuk mendata Sunoto dan teman-temannya.

“Aku ketua gang, jadi mendaftar paling pertama!” Sunoto mengajukan diri.

Ida tersenyum geli. “Siapa nama lengkap kamu?”

“Sunoto!” Sunoto menjawab.
Ida mengernyitkan dahi. “Nama lengkap itu nama panjang.”

Uday yang paham maksudnya segera menjelaskan. “Nama Sunoto cuma satu kata.”
Ida mengangguk paham. Ia mencatatnya. “Tempat, tanggal lahir?”

Sunoto bingung, tapi ia buru-buru menjawab. “Umur saya 13 tahun!”

Ida berpikir, cara ini kurang efektif. “Begini saja, aku bagikan kertas formulir, kalian isi di rumah. Jangan lupa minta tanda tangan orang tua.”

“Ide bagus!” Slamet berkomentar.

“Besok saat berangkat, kalian kembalikan kertas formulirnya!” Ida membagi-bagikan kertas formulir kepada Sunoto dan teman-temannya.

“Aku minta dua, buat adik kembarku.” Sissy mengulurkan tangan.

“Keponakan kamu sekalian ya?” Ida memberi Sissy lima lembar formulir.

“Oke, Kak!”

“Aku juga minta lima, buat adik-adikku.” Isna tertawa, meledek kakaknya.

Haji Bakir tersenyum genit. “Sepertinya Bapak harus punya anak lagi, biar Isna bisa mendaftarkannya di madrasah!”

“Pak Haji mau menikah lagi?” Giant yang dari tadi diam, bertanya penasaran.

Haji Bakir memandang kedua anaknya, meminta persetujuan.

“Tidak!” Ida dan Isna menjawab kompak.

Semua yang ada di ruangan mushola tertawa, kecuali Haji Bakir.

“Aku boleh pulang?” Sunoto memegang perut, merasa lapar.

“Kalian boleh pulang.” Haji Bakir menjawab. “Jangan lupa nanti salat isya berjamaah ya?”

“Iya, Pak Haji!” Sunoto menjawab. Ia dan teman-temannya meninggalkan mushola.

“Alhamdulillah, awal yang bagus.” Haji Bakir tersenyum gembira.

“Pembagian tugas mengajar bagaimana, Pak Haji?” Slamet bertanya.

“Sementara, kita mengajar bersama-sama-sama. Kita bagi kelas menjadi dua. Saya dan Ustaz Slamet akan mengajar murid laki-laki. Murid perempuan diajar Ida dan Isna.”

“Calon murid perempuannya baru 2, adik kembarnya Sissy.” Isna menimpali.

“Saya sudah siapkan selebaran.” Slamet memberi tahu. “Tinggal menyebarkannya.”

Isna mengajukan diri. “Aku dan anak band siap menyebarkannya.”

“Mana selebarannya? Aku dan Giant akan menyebarkannya malam ini juga.” Uday mengajukan diri sambil menyenggol lengan Giant.

Giant mengangguk sepakat.

“Mari, kalian ikut saya.” Slamet mengajak Uday dan Giant. “Selebarannya ada di rumah, kita sebarkan bersama-sama.”

Slamet keluar mushola, diikuti Giant dan Uday.

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang