Chapter 1

200 22 6
                                    

Seorang pemuda tampan berjalan penuh rasa percaya diri, menapaki anak tangga, menuju panggung. Suasana yang sebelumnya riuh rendah, mendadak hening. Semua mata terpusat kepadanya. Bapak-bapak di barisan kursi depan memandangnya takjub. Para tamu kehormatan itu merasa tersanjung, meskipun ini hanya acara khitanan masal tingkat kelurahan, tetapi menghadirkan pembawa acara berkelas. Sementara istri-istri mereka mulai bersemangat mengikuti acara yang tahun-tahun sebelumnya membosankan.

Sang pembawa acara merapikan jas, memandang pengunjung dengan sorot mata berwibawa. Obrolan para gadis seketika berhenti. Bibir mereka terkatup rapat, tak lagi mengoceh. Sedangkan ibu-ibu muda yang sejak tadi resah karena anak-anaknya rewel, mulai merasa nyaman.

“Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh!” Pembawa acara memulai acara. Matanya beredar ke setiap sudut aula, berusaha menguasai suasana.

“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh!” Pengunjung menjawab kompak dengan suara nyaring.

“Kepada Bapak Lurah dan ibu, beserta jajarannya yang saya hormati.” Pembawa acara mengangguk hormat kepada pria setengah baya berbaju batik.
Pak Lurah membalas dengan anggukan.

“Kepada bapak-bapak, ibu-ibu, dan hadirin, yang saya hormati.” Pembawa acara kembali mengangguk hormat.

“Pertama, marilah kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah swt. yang telah memberikan nikmat dan karunia sehingga kita dapat berkumpul pada acara khitanan masal tahun ini. Kedua, sholawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Muhammad saw, nabi akhir zaman, dan tak ada lagi nabi setelahnya.”

Kalimat pembuka sang pembawa acara tidak istimewa, terlalu baku, kalimatnya tak beda dengan teks siswa SD yang sedang lomba pidato. Yang membuat para pengunjung terkesan adalah penyampaiannya. Ia tidak seperti sedang berbasa-basi, tapi berkomunikasi dengan baik.

“Sebelum membacakan susunan acara, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Slamet.”

Seorang janda muda tersedak. Biji jeruk menyangkut di tenggorokan akibat kaget, mendengar pengakuan pembawa acara, seakan tak percaya, pemuda tampan berpenampilan menarik itu memiliki nama Slamet. Nama itu mengingatkannya kepada mantan suami.

Di barisan depan janda muda tersebut, para bapak saling pandang. Di barisan belakangnya, para gadis saling berbisik. Suasana aula mendadak riuh rendah.

Slamet, pembawa acara, mulai grogi. Keringat dingin membasahi leher. Otaknya blank, tak tahu apa yang akan disampaikan selanjutnya. Teks pidato yang sudah dihafal selama seminggu, lenyap begitu saja.

Sadar sedang menjadi bahan kasak-kusuk. Slamet mencoba menguasai diri. Mau tidak mau ia harus terus bicara. “Saya bangga memiliki nama itu.”

Sebagian besar pengunjung tertawa. Beberapa di antaranya menahan diri, merasa itu bukan lelucon. Sisanya tak peduli.
Slamet merasa tidak nyaman. Ia yakin, pengunjung sedang menertawakan namanya, membuat kepercayaan dirinya luntur. Namun ia tak ingin berkecil hati. “Slamet adalah nama yang bagus.”

Beberapa orang tertawa, menganggap Slamet sedang berkelakar.

“Bagus menurut ibu saya! Kalau jelek beliau tak akan memberi saya nama tersebut.”

Tawa pengunjung lebih keras dari sebelumnya. Mereka menganggap Slamet sedang bercanda. Mereka tidak menyadari kalau pembawa acara itu sedang bicara melantur.
“Bahkan orang Indonesia yang pertama kali menginjakkan kaki di bulan bernama Slamet.”

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang