Matahari bersinar hangat pada pagi yang cerah. Burung-burung pipit hinggap di pucuk-pucuk tumbuhan padi yang siap panen. Ketenangan mereka terusik oleh hadirnya sekolompok anak kecil yang berlarian sambil berteriak-teriak. Burung-burung itu terbang.
Slamet yang sedang mencari udara segar, menoleh ke arah anak-anak itu. Mereka asing-masing membawa sesuatu. Ada yang membawa bambu, ada juga yang membawa ranting kayu. Satu anak yang ia kenal adalah Sunoto.
Sampai di pinggir lahan kosong, anak-anak itu menancapkan dua batang pohon bambu secara sejajar di dekat tumpukan jerami. Sebilah ambu yang lebih kecil di palangkan di keduanya setinggi pusar orang dewasa.
Selepasnya, anak-anak itu bergerak menjauh. Mereka melakukan hompipah.
“Aku pertama!” Sunoto berteriak girang. Ia menatap sepasang palang sejenak. Tak lama, ia berlari sekuat tenaga menuju palangan. Berapa meter sebelum sampai, ia mengambil ancang-ancang untuk meloncat. Tubuh ringannya berhasil melalui palang tanpa menjatuhkannya. Ia terhempas pada tumpukan jerami.
Secara bergiliran, sesuai urutan, mereka melakukan permainan mirip loncat tinggi. Setiap berhasil melewati palang tanpa menjatuhkannya, mereka menambah ketinggian. Jika ada yang gagal, anak-anak itu tertawa terbahak-bahak. Slamet takjub dengan keriangan anak-anak Dukuh Pesawahan itu.
Merasa bosan, mereka bermain bola, 3 lawan 3. Lapangan yang mereka gunakan adalah lahan bekas tanaman padi. Kondisi tanahnya tidak rata, cukup berbahaya. Resikonya bisa menyebabkan kaki mereka cidera. Tetapi anak-anak itu seolah tidak peduli, yang penting merasa senang.
Yang membuat Slamet terkesan adalah bola yang mereka mainkan bukan bola sungguhan, melainkan plastik bekas yang dibentuk mendekati bulat. Gawangnya pun hanya sepasang tancapan batang kayu, sehingga kadang mereka bertengkar, memperdebatkan gol itu sah atau tidak.
Kebahagian yang mereka dapatkan secara sederhana itu membuat Slamet kagum. Betapa keterbatasan telah membuat anak-anak itu kreatif. Berbeda dengan dirinya, menghabiskan masa kecil di perkotaan yang sumpek. Jangankan tanah lapang, mencari tempat lapang untuk bermain saja sulit.
“Mas!” Sunoto melambai ke arah Slamet yang sedang berdiri di atas pematang.
Slamet balas melambai.
Sunoto berlari ke arah Slamet. Teman-temannya mengikutinya. Mereka seperti sedang lomba lari.“Bolanya kok ditinggal?” Slamet bertanya ketika Sunoto sampai di depannya.
“Biar saja, tidak akan hilang!” Sunoto berujar sambil mengatur napas yang terengah-engah.
Slamet tersenyum. Sebuah ide melintas di benaknya. “Kalian mau bola?”
Senyum Sunoto mengembang. “Mau!”
Slamet berjongkok, agar dapat menatap Sunoto sejajar. “Insya Allah, nanti sore aku akan ke kota. Nanti aku belikan bola sekalian.”
“Benar?” Sunoto menatap Slamet seolah tak percaya.
“Benar. Kalian bisa ambil nanti sore, sebelum asar di madrasah.” Slamet menjawab mantap.
“Horee!” Sunoto melompat girang. Ia mendekati teman-temannya. “Kita akan punya bola!”
“Horee!” Teman-teman Sunoto bersorak gembira. Mereka kembali bermain bola.
***
Isna bersama teman bandnya menepati janji untuk membantu Slamet membenahi gedung madrasah. Mereka telah berada di tempat itu lima belas menit lebih dulu.
“Aku datang terlambat nih?” Slamet berujar.
“Tidak, Ustaz.” Sissy tersenyum simpul. “Kami yang terlalu cepat sampai di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...