Matahari tergelincir ke arah barat, ditingkahi azan zuhur yang dikumandangkan Mbah Suto. Suara seraknya menggema melalui pengeras suara yang tak kalah tua dengan sang muazin.
Haji Bakir baru saja akan melangkah menuju mushola ketika sebuah sepeda motor plat merah parkir di halaman rumahnya.
“Oh, Pak Kades!” Haji Bakir terkejut melihat siapa yang datang.
“Assalamu alaikum!” Pak Kades mengucap salam.
“Waalaikum salam!” Haji Bakir menjawab. “Silakan masuk, Pak Kades!”
Pak Kades meletakkan tas di atas meja. Ia duduk bersebelahan dengan Haji Bakir.
“Ada keperluan apa, Pak?” Haji Bakir bertanya.
“Saya sudah membaca undangan dari Pak Haji.” Pak Kades tampak gugup. Meski secara struktur, ia seorang atasan, tetapi ia menghormati Haji Bakir sebagai tokoh masyarakat.
“Semoga Bapak berkenan hadir.” Haji Bakir tersenyum senang.
Pak Kades tersenyum kaku. Tangan kanannya membetulkan kerah baju yang sebenarnya baik-baik saja. “E-eh, jadi begini, kemarin saya dengan Pak Sekdes membicarakan soal madrasah, karena beliau lebih paham sejarah pendirian madrasah itu.”
Haji Bakir mencium ketidakberesan. Firasatnya berkata, gedung madrasah itu akan dipermasalahkan. “Saya juga paham soal madrasah itu!”
Pak Kades tersenyum kaku. “Benar, Pak Haji! Untuk itulah saya datang ke sini, ingin mengetahui lebih dalam mengenai madrasah.”
“Saya pikir Pak Sekdes sudah banyak menjelaskan kepada Bapak, jadi apalagi yang harus saya jelaskan?”
“Saya mengapresiasi langkah Pak Haji dalam menghidupkan kembali madrasah. Sungguh itu tugas yang mulia.” Pak Kades menelan ludah. “Tetapi sebagai kades saya merasa terpanggil untuk menanyakan tentang SKDP. Selama ini, dari pihak madrasah belum mengajukannya.”
Dahi Haji Bakir berkerut. “Apa itu SKDP?”
“Surat Keterangan Domisili Perusahaan.”
“Perusahaan?” Haji Bakir terbelalak. “Itu madrasah, bukan perusahaan!”
“Saya paham maksud Pak Haji.” Lutut Pak Kades bergerak-gerak. Kegugupan semakin sulit ia kuasai. “SKDP itu salah satu kelengkapan legalitas yayasan. Seperti yang tertera dalam undangan yang bapak kirim, madrasah itu bernaung dalam sebuah yayasan.”
“Benar, yayasan itu sudah berdiri belasan tahun lalu!” Haji Bakir mulai kesal. “Sebelum Bapak menjadi kades, gedungnya sudah berdiri.”
“Tapi menurut Pak Sekdes, yayasan itu belum berbadan hukum.”
Haji Bakir terdiam. Soal badan hukum, ia tidak begitu paham. Yang ia tahu yayasan itu dibentuk oleh Ustaz Amin. “Badan hukum itu urusan kemenkumham, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan desa.”
“Benar, Pak Haji!” Pak Kades berusaha menguasai diri. “Saya tidak ingin nantinya madrasah itu berhenti lagi karena masalah yang sama.”
“Siapa yang ingin mempermasalahkannya?” Haji Bakir terpancing emosi. “Kyai Langgeng? Dia tak senang kalau madrasah ini hidup lagi tanpa melibatkannya.”
Pak Kades menyeka keringat di dahi. Ia sudah menduga akan berada pada situasi seperti ini.
“Sekarang saya tanya sama Pak Kades.” Mata Haji Bakir memerah. “Apa yang akan pemerintah desa lakukan seandainya yayasan madrasah itu belum berbadan hukum?”
“Saya hanya ingin melindungi...”
“Melindungi siapa? Kyai Langgeng?”
Pak Kades diam, merasa tersinggung dengan tuduhan Haji Bakir, tetapi berusaha sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...