Sebatang rokok yang masih tertinggal setengah, Bang Beni letakan di atas asbak. Ia menyadari tamunya terganggu dengan kesukaannya itu. Ia memang perokok berat. Dalam sehari, lebih dari satu bungkus rokok ia isap. Namun, demi kenyamanan tamu, ia rela menghentikannya sejenak.
“Saya salut dengan orang-orang yang tidak merokok.” Bang Beni menegakkan badan, meraih secangkir kopi, lantas menghabiskannya. “Rokok dan kopi adalah teman yang tak pernah membosankan. Namun, mereka bisa membuatmu terbunuh jika tidak bijak.”
Slamet mengerjap. Ia tak mengerti bijak seperti apa yang dimaksud Bang Beni. Di matanya rokok tetaplah buruk. Tidak ada kata bijak dalam mengakrabinya. Namun ia tak perlu menanyakannya demi melihat sikap simpatik pria yang usianya berkepala empat di depannya. “Saya juga salut kepada perokok yang menghargai orang yang tidak merokok. Jangan anggap ini menjilat. Saya tidak sedang membicarakan bapak.”
Bang Beni terkekeh. Ia terkesan dengan ucapan calon karyawannya. “Panggil Bang Beni saja! Sebentar, saya ke dalam dulu.” Ia beranjak, masuk rumah.
Sepeninggal Bang Beni, Slamet mengedarkan pandangan ke sekitar. Halaman rumah pemilik bengkel itu sangat luas. Sebuah kolam ikan berbentuk lingkaran berada di pusarannya. Di tengahnya terdapat air mancur yang bisa berubah formasi. Sementara di sepanjang pinggir halaman terdapat berbagai macam tumbuhan, seperti mangga, kersen, belimbing, dan beberapa jenis bunga.
Rumah Bang Beni bergaya Eropa klasik. Ada dua pilar tinggi, menyangga balkon, menjulang sampai lantai dua. Bagian depan rumahnya bercat putih, kecuali kusen jendela dan pintu yang terbuat dari kayu jati. Teras rumahnya tidak terlalu luas, hanya berukuran 3x6. Satu set meja kursi berarsitektur ukiran khas Jepara, membuat siapa saja yang duduk di atasnya akan merasakan perpaduan yang unik.
“Saya sudah membaca profil anda.” Bang Beni baru saja keluar sambil menenteng map warna biru. Selepas menempatkan pantat di atas kursi, ia membuka map. “Slamet Tahun Baru, 28 tahun, lulusan S1 Perbankan Syariah. Itu kurang menarik buat saya. Yang membuat saya terkesan adalah rekam jejakmu pada pendidikan agama.”
Slamet menatap Bang Beni sambil menahan napas. Ia tak mengerti kenapa bukan latar belakang pendidikannya yang disorot, melainkan kiprahnya di bidang agama. Baginya, itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan.
“Anda pernah menjadi staf pengajar di pondok pesantren tahfidzul quran. Ustaz, begitu pasti santri-santri anda memanggil. Dan tentu saja anda hapal alquran bukan?” Bang Beni meletakkan map ke atas meja.
Slamet menjawab dengan sebuah senyum. Ia masih tak mengerti arah pembicaraan ini. Namun buru-buru ia menyadari. Kualifikasinya memang tidak ada sangkut-pautnya dengan jenis pekerjaan yang sedang ia lamar.
“Saya akan bertanya. Anda boleh menolak menjawab, atau memberi penjelasan diplomatis. Itu tak akan memengaruhi keputusan awal saya yang sudah menerima anda.” Bang Beni menatap Slamet lekat-lekat. “Kenapa anda melamar pekerjaan kepada sebuah perusahaan bengkel mobil? Anda bisa bekerja di bank atau kembali menekuni pendidikan Alquran.”
Sebelum menjawab, Slamet mendesah perlahan. “Saya sudah melamar pada beberapa bank, namun sampai saat ini belum mendapatkan konfirmasi. Soal pendidikan alquran, saya sebenarnya berat meninggalkan pesantren tersebut. Namun, saya ingin mendapatkan pekerjaan seperti yang diharapkan Ibu saya. Apalagi sampai saat ini saya masih mengamalkan ilmu agama yang pernah saya dapat, meski hanya mengajar secara privat.”
Bang Beni mematung, terkesima dengan kejujuran Slamet. Biasanya para pelamar yang pernah ia tanya, selalu menjawab secara diplomatis, tidak mau terkesan terpaksa melamar pada bengkel karena belum diterima di perusahaan yang didambakan. Baginya sosok Slamet cukup menarik.
“Anda yakin akan bekerja di bengkel?”
“Pekerjaan apa saja akan saya jalani dengan totalitas. Saya memang tidak begitu paham soal bengkel, tetapi itu membuat saya bersemangat untuk mempelajari sesuatu yang baru. Selain gaji, saya akan mendapatkan banyak pengalaman. Itu bonus yang luar biasa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...