Chapter 23

40 5 0
                                    

Teras rumah Shofy lebih pantas disebut taman. Berbagai macam bunga mengitari sebuah kolam ikan yang di tengahnya terdapat air mancur. Di antara bunga-bunga itu, yang paling banyak adalah bunga mawar. Di atasnya daun-daun anggur merambat, melilit anyaman bambu yang tertata rapi, menambah kesan asri.

Slamet melirik arloji, sambil merebahkan kepala pada sandaran sofa. Sudah seperempat jam ia menunggu pemilik rumah menemuinya. Kata seorang asisten rumah tangga, Shofy sedang mandi. Baginya, waktu selama itu bisa dimanfaatkan untuk mandi selama tiga kali berturut-turut.

Beruntung kesejukan teras rumah ini mampu meredam kegelisahannya. Ia hanya memiliki sisa waktu setengah jam lagi. Setiap jam 5 sore, ia selalu mengajar ngaji privat sampai azan maghrib berkumandang. Jika bukan karena sudah janji, ia ingin pulang saja.

Sebuah notifikasi berbunyi dari ponselnya. Satu pesan whatsapp baru saja masuk. Slamet membukanya.

Apa kabar?

Dahi Slamet berkerut. Nomor pengirimnya belum tersimpan. Ia mengabaikannya, dan menganggapnya hanya pesan iseng. Menurutnya, jika pesan itu penting pasti menyebutkan nama pengirimnya.

Kenapa tidak membalas?

Slamet akhirnya membalas. Maaf, ini siapa?

Coba tebak, aku siapa?

Slamet membalas lagi dengan perasaan mulai kesal. Aku tidak punya waktu untuk main tebak-tebakan. Katakan saja, ada keperluan apa?

Tidak ada balasan.

Slamet meletakkan ponsel ke atas meja. Namun tak begitu lama, nada notifikasi kembali berbunyi. Ia tak ingin berspekulasi bahwa itu pesan dari nomor tadi. Bisa saja itu dari pengirim berbeda dan mungkin pesannya penting. Maka ia segera membukanya.

Sebut saja, aku Mawar. Tapi tak berduri lho!

Slamet mendengus. Sekarang perasaan kesal bersaing dengan perasaan gelisah dalam hatinya. Ia membalasnya. Aku tidak punya teman bernama Mawar.

Namaku memang bukan Mawar. Tapi kau mengenalku. Aku mengenalmu. Coba ingat-ingat siapa aku? Aku punya tahi lalat.

Slamet terpancing emosi. Sudah katakan saja apa maumu!

Yang aku mau, kamu mau ngobrol denganku.

Rasa kesal Slamet semakin menggunung. Maaf, aku tak mau ngobrol dengan orang yang tidak menghargaiku.

Aku tidak menghargaimu? Aku bahkan selalu menyimpam senyummu dalam benakku, mengukir namamu dalam hatiku, menyebut namamu sesering aku bernapas.

Tidak mau berlama-lama, Slamet segera mematikan data internet. Ia sedang tidak memiliki selera humor. Ia memasukkan ponsel ke saku kemeja.

Slamet menarik napas dalam-dalam, mengusir perasaan tidak nyaman dalam hati. Namun isi percakapan whatsapp tadi membuatnya penasaran. Siapa orang yang minta disebut Mawar itu? Orang itu mengaku mengenalnya, dan mengatakan memiliki tahi lalat.

Slamet senyum-senyum sendiri. Hatinya seperti sedang digelitik. Ia tidak yakin ada manusia yang tidak memiliki tahi lalat. Benda hitam berukuran kecil itu sesuatu yang mudah dijumpai. Hampir semua orang yang ia kenal tahi lalatnya terlihat. Sehingga menggelikan, ada orang mengajak tebak-tebakkan dengan clue tahi lalat.

“Bahaya kalau senyum-senyum sendiri begitu!” Shofy tiba-tiba muncul sambil menggosok-gosokkan rambut menggunakan handuk. “Maaf, membuatmu menunggu lama. Aku habis keramas.”

Slamet menegakkan tubuh, melempar senyum. “Pantas saja lama.”

Shofy duduk bersebelahan dengan Slamet, masih terus menggosok-gosok rambut. “Keramasnya sebentar. Yang bikin lama, kalau sore begini airnya keluarnya sedikit. Kalau pagi lebih parah, kadang tidak keluar sama sekali. Pada daerah padat penduduk seperti di sini seharusnya PDAM bisa mengantisipasi hal ini. Padahal kalau pelanggan terlambat bayar, dikenakan denda. Bahkan kalau sampai bulan berikutnya belum membayar, instalasinya dicabut. Pelayanannya masih belum maksimal!”

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang