Imron mondar-mandir, di depan pintu ruang B madrasah dengan hati gelisah. Ruangan untuk murid perempuan itu sudah lengang, hanya menyisakan dua orang ustazah. Isna sedang menata bangku-bangku yang berantakan. Ia bersenandung lagu Maher Zain berjudul Insha Allah dengan cengkok rock n roll. Bukan dirinya yang sedang ditunggu, tetapi Ida yang sedang merapikan taplak meja.Malu-malu, Imron mengintip Ida dari balik kaca jendela. Ia memandang gadis itu dengan hati resah. Sudah beberapa hari ini, sikap putri sulung Haji Bakir itu tampak berbeda, terkesan menghindarinya. Ia tak tahu apa sebabnya. Maka itu ia ingin membicarkan masalah ini dengan gadis itu.
Selesai merapikan meja, Ida bergegas keluar. Ia sadar sedang ditunggu seseorang di luar. Maka itu ia mempercepat langkah, keluar ruangan.
Imron terhenyak, tak menyangka Ida akan berjalan secepat itu. Buru-buru ia menjauh dari kaca jendela, berpura-pura sedang memandang kuburan di sebelah madrasah sambil bersenandung seperti yang disendandungkan Isna, padahal ia tidak tahu lagunya.
“Ida!” Imron segera menjejeri langkah Ida yang berjalan cepat. “Aku antar pulang!”
Ida menoleh. Wajahnya sedikit ketus. “Tak sepatutnya lelaki dan perempuan yang bukan muhrim berjalan berduaan.” Langkahnya semakin cepat.
Bagi Imron mudah saja untuk mengejar langkah panjang Ida, namun ia membiarkan gadis itu meninggalkannya. Jika memaksakan diri, ia tak mau gadis itu semakin menghindarinya. Biarlah ia akan mencari waktu yang tepat nanti.
Ida terus berjalan dengan langkah kaki panjang. Di sebuah belokan, tubuhnya menghilang dari pandangan Imron yang masih mematung memandangnya.
Imron mendengus panjang. Hatinya semakin gelisah. Ia masih tak mengerti dengan sikap Ida. Menurutnya, sikap gadis itu mulai berubah sejak tiga hari lalu. Ia tak tahu apa sebabnya. Padahal sebelumnya, mereka masih akrab seperti biasanya.
“Mas Imron belum pulang?” Isna tahu-tahu sudah berdiri di sebelah Imron.
Imron tersenyum dipaksakan. “Kakakmu kenapa sih?”
“Yee, pertanyaan dibalas pertanyaan!” Isna mencibir. Ia sebenarnya tahu kenapa sikap kakaknya berubah kepada Imron, tetapi ia tak mungkin menjelaskannya. Ia yakin Ida sedang menghindari anak tunggal Kyai Langgeng di sebelahnya itu.
“Ayo pulang!” ajak Imron.
Isna menggeleng. “Aku pulang dulu. Mas Imron jalan belakangan kalau aku sudah sejauh lima ratus meter. Nanti dikira pacaran lagi!” Ia meninggalkan Imron.
Imron terkekeh mendengar kalimat Isna yang menurutnya lucu. Perasaan gelisahnya sedikit teralihkan. Ia segera menjejeri langkah anak tomboy itu. “Ndak mungkinlah orang akan berpikiran begitu. Kamu kan cowok juga!”
Isna berhenti. Matanya melotot sambil berkacak pinggang. “Sekali lagi Mas Imron bilang begitu, aku injak kakinya!”
Diancam Isna, Imron malah terbahak-bahak. “Injak saja kalau berani!”
Tanpa banyak berpikir, Isna langsung menginjak kaki Imron. Ia tidak mau dianggap sekadar mengancam. Namun injakannya meleset. Dengan gesit Imron menghindar. Ia sudah bersiap sebelumnya karena tahu cewek tomboy itu tidak pernah main-main dengan ancamannya.
Kesal injakannya meleset, Isna mengulanginya lagi. Meleset lagi. Injak lagi. Meleset lagi. Ia pun kesal. Napasnya terengah-engah. Hatinya kesal.
“Injakanmu seperti cewek!” Imron tertawa mengejek, sambil berlalu, meninggalkan Isna.
Isna cemberut sekaligus malu. Tidak terima, ia mengejar Imron. Sampai di belakang pemuda itu, ia menjejakkan kaki kanan untuk menginjak bagian belakang sepatu sebelah kiri Imron. Alih-alih berhasil, ia terhuyung ke depan tak bisa menjaga keseimbangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...