Mata Randi menyisir tubuh Slamet dari atas ke bawah. Pandangannya merendahkan. Penampilan lelaki di depannya tidaklah sekeren dalam bayangannya. Kemarin, ketika Shofy menceritakan bahwa punya teman yang membutuhkan pekerjaan, ia membayangkan kalau lelaki itu berpenampilan menarik. Itu sedikit merisaukan karena ia tidak mau memiliki saingan. Ia berpikir, lelaki itu pastilah bukan teman biasa karena gebetannya sangat antusias, bahkan memohon agar dirinya mencarikan pekerjaan.
Namun penampilan sederhana Slamet tidak lantas membuat Randi tenang. Meski terkesan kampungan tetapi ia mengakui lelaki itu tampan. Ia mencium bahaya. Ia tidak terima ada lelaki lain yang dekat dengan Shofy.
“Randi, kenalkan, ini Slamet yang kuceritakan kemarin,” ujar Shofy. “Dan, Slamet, kenalkan, ini Randi. Dia punya jabatan strategis di kantornya.”
Kedua lelaki di samping Shofy saling berjabat tangan. Slamet tersenyum. Randi menatap sinis.
“Kita duduk di sana saja ya?” Shofy menunjuk sebuah taman kecil yang berada di belakang warung. Taman tersebut berada di area bengkel mobil, yang menjadi pemisah antara kantor Shofy dan kantor Randi.
“Langsung saja!” ujar Randi ketus. “Aku tak mau membuang-buang waktu untuk basa-basi.”
Shofy membaca gelagat tidak bersahabat Randi. “Baiklah, seperti yang sudah kujelaskan kemarin, aku minta tolong kepadamu untuk mencarikan lowongan pekerjaan untuk Slamet.”
Alih-alih merespon ucapan Shofy, Randi menatap sinis Slamet sekilas. “Yang mau kerja kamu apa temanmu? Seharusnya ia mengatakan sendiri kepadaku.”
Shofy menghela napas, menahan kesal.
Slamet peka dengan situasi. Buru-buru ia angkat bicara. “Iya, Mas. Saya ingin bekerja di bank. Barangkali saja di kantor Mas Randi ada lowongan.”
Randi menyeringai puas. Ia merasa di atas angin. Ia menatap tajam Slamet. “Buatlah surat lamaran pekerjaan lengkap. Biar kuurus! Titipkan Shofy saja, tidak perlu datang lagi ke sini. Nanti kukabari kalau ada perkembangan.”
Slamet tersenyum gembira. “Iya, Mas!”
“Jangan panggil mas. Seperti orang kampung saja!”
Meski sedikit tidak nyaman dengan sikap Randi, Slamet tersenyum. “Iya, Randi!”
Shofy merasa sebal dengan sikap Randi. Namun ia menahan diri demi lancarnya urusan. Baginya yang penting Slamet segera mendapatkan pekerjaan.
Sejak lama Randi menunjukkan gelagat menyukai Shofy. Berkali-kali lelaki itu menawarkan tumpangan berangkat-pulang kerja, namun gadis itu lebih sering membawa mobil sendiri. Setiap malam minggu juga sering berkunjung. Ia selalu membawa sesuatu, mulai dari satu boks martabak sampai sebuket mawar merah. Namun gadis idamannya tidak kunjung memberi lampu hijau.
Usia Randi 30 tahun, 2 tahun lebih tua dari Shofy. Ia ingin segera mengakhiri masa lajang. Namun perempuan yang ia perjuangkan sulit ditaklukan hatinya.
Randi tak habis pikir kenapa Shofy sulit membuka hati untuknya. Padahal ia merasa mapan. Gajinya terbilang besar. Mobilnya dua. Rumahnya mewah. Tampangnya juga lumayan, sedikit di atas rata-rata. Ia tak tahu harus melakukan apa lagi agar dapat membuat pujaannya terkesan.
Padahal jika Randi mau, ia bisa menikahi gadis yang lebih cantik dari Shofy. Tidak sedikit cewek-cewek yang mencari perhatiannya, baik yang sekadar mencuri pandang sampai yang terang-terangan mengungkapkan perasaan. Namun cintanya sudah tertambat kepada gadis itu.
Kesempatan ini sebenarnya cukup bagus untuknya. Dengan mencarikan pekerjaan untuk Slamet, ia berharap Shofy akan terkesan. Sayang, rasa cemburu dan takut tersaingi lebih menguasai hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Dalam Genangan
HumorSlamet adalah pemuda sederhana. Ia selalu mengenakan kemeja biasa, celana model biasa, sandal biasa, namun membuatnya tampak luar biasa. Ia lelaki yang nyaris sempurna. Selain tampan dan berpendidikan tinggi, ia seorang ustaz yang hafal Alquran. Sla...