Chapter 2

99 20 6
                                    

“Jika tidak keberatan, saya ingin mengganti namamu menjadi Salim.”

Slamet menunduk, menimbang usulan Ustaz Amin. Meski keberatan, tapi ia tak berani menunjukkannya.

Setangah abad sudah Ustaz Amin menghirup udara dunia. Matangnya usia, membuatnya mudah untuk bisa menerka isi hati murid di hadapannya. “Itu hanya usul, jangan merasa terbebani.”

Slamet merasa tidak enak hati. “Saya akan menerima apa pun yang menjadi kehendak Ustaz karena pasti telah melalui pertimbangan yang matang.”

Ustaz Amin tersenyum bijak. “Saya tahu, kamu ingin tetap menyandang nama pemberian ibumu. Jadi abaikan saja keinginan sentimentil lelaki tua ini. Slamet juga sebuah nama yang bagus.”

Slamet tersipu, merasa malu. Ia pernah menghabiskan waktu selama belasan tahun untuk melakukan protes kepada ibunya yang terkesan asal-asalan dalam memberikan nama kepadanya.

“Kamu malu menyandang nama Slamet, HAH?” Ibunya menunjuk hidung mancung anaknya. “Kamu pernah tahu tidak, ada pahlawan nasional bernama Slamet Rijadi?”

Slamet yang masih remaja kala itu tak mau kalah. “Kalau cuma Slamet aku tidak malu, Bu! Tapi Slamet Tahun Baru bukan terdengar seperti sebuah nama, mirip lelucon.”

“Kamu pikir ibu sedang melucu?” Ibu Slamet berkacak pinggul. “Slamet Rijadi itu artinya selamat hari raya. Mungkin ia lahir pada hari raya. Karena kamu lahir saat pergantian tahun, maka ibu beri nama Slamet Tahun Baru.”

Slamet tak mau berdebat, selain tidak ingin membuat ibunya marah, juga karena protes tidak akan membuat teman-teman sekelasnya berhenti mengolok-olok. Para guru di sekolah memiliki andil atas olok-olok tersebut. Mereka selalu memanggilnya secara lengkap, baik saat melakukan absensi maupun saat menyuruhnya maju.

Setiap kali namanya disebut, setiap kali itu pula teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Mereka seolah tak pernah bosan mengoloknya, bahkan menganggap itu lelucon abadi.

Dari SD sampai perguruan tinggi, nama itu disebut dari kelas ke kelas, dari forum ke forum, selama 17 tahun. Slamet pun menjadi minder, cenderung menjauh dari pergaulan. Ia tak punya teman, membuatnya semakin terkucilkan.

Dulu saat awal kuliah, ia menjadi primadona karena berwajah ganteng, tubuh atletis, hidung mancung, berkulit putih, dan berperilaku sopan. Banyak mahasiswi yang mengajaknya berkenalan, tukar nomor ponsel, bahkan tukar pikiran. Pada akhirnya, satu per satu mereka mundur teratur setelah mengetahui nama lengkapnya.
Beruntung masih ada seorang mahasiswi yang masih mau menjadi teman Slamet sejak semester pertama hingga wisuda, namanya Rachela. Gadis itu sangat menyenangkan, selalu menemaninya dalam suka atau duka.

“Kamu tidak malu berteman denganku?” Suatu ketika, Slamet bertanya sentimentil.

“Kenapa harus malu?”

“Karena namaku kurang keren.”

“Apalah arti sebuah nama.” Rachela meyakinkan. “Orang dikenang karena kebaikannya.”

Sungguh manis sekali kalimat Rachela, membuat hati Slamet berbunga-bunga. Semakin hari, semakin subur bunga-bunga itu. Lambat laun ia jatuh hati kepada satu-satunya gadis yang bisa memahami keresahannya itu.

Maka, di siang yang gerimis, saat matahari masih bersinar terang, Slamet mengutarakan isi hatinya.

“Maukah kamu menikah denganku?” Ia menyodorkan setangkai mawar merah.

Rachela bergeming. Matanya berkaca-kaca.

“Jika mau, terimalah bunga ini.”

Gumpalan bening di pelupuk mata Rachela pecah, mengalir, membasahi pipi. “Kamu tidak sedang bercanda bukan?”

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang