Chapter 18

49 15 1
                                    

Slamet menambatkan pandangan ke langit-langit. Sorot matanya seumpama proyektor, menampilkan slide demi slide kenangan yang terjadi tujuh tahun silam. File kenangan dalam otaknya masih tersimpan dengan rapi.

Peristiwa itu tak mungkin Slamet lupakan, telah menjadi bagian penting dalam sejarah hidupnya. Durasinya kurang dari setengah jam, tetapi sangat membekas sampai sekarang. Ia masih mengingatnya secara detail adegan tersebut.

Setting adegan berada di rental komputer, seberang kampus yang sudah tutup. Waktu itu hujan baru saja saja menuntaskan hajat, hanya menyisakan tetes-tetes kecil. Slamet dan Rachela duduk di bangku panjang. Mereka dipisahkan sebuah jaket kumal.

“Pulang yuk?” Rachela menoleh ke arah Slamet. “Hujan sudah berhenti.”

Slamet memandang langit. “Masih sedikit gerimis. Nanti kamu sakit lagi seperti minggu lalu.”

Rachela tidak peduli. Ia menarik tangan Slamet manja. “Ayo pulang, sebelum hujan berubah pikiran.”

“Jangan samakan hujan dengan kamu.”

“Aku?” Sepasang alis Rachela terangkat. “Kamu bilang aku suka berubah pikiran?”

“Kamu sendiri yang bilang.”
Rachela merajuk. Wajahnya cemberut. “Ya sudah ngga usah pulang! Kita tunggu saja hujan turun lagi!”

“Benar kan?” Slamet tersenyum meledek. “Tadi kamu minta pulang, sekarang sebaliknya.”

“Terserahlah!”

Slamet puas, bisa membuat Rachela cemberut. Wajah gadis itu sangat lucu saat sedang pura-pura ngambek. Bagi Slamet, itu lebih menggemaskan ketimbang saat tersenyum.

“Kamu lihat bulan itu?”
Rachela bungkam. Dengan malas, matanya melirik ke langit.

“Bukan di langit.” Slamet menunjuk genangan air yang cukup luas di halaman rental komputer. “Tapi di situ!”

Meski malas, Rachela melirik juga tempat yang ditunjuk Slamet.

“Ternyata bulan tak sejauh yang kita bayangkan. Hanya berjarak dua langkah kaki.”

Rachela pura-pura acuh, tapi melirik genangan air yang cukup luas. Dari situ ia bisa melihat bayangan bulan.

Hembusan angin cukup kencang, membuat Rachela bersedekap. Tubuhnya sedikit menggigil. Mengetahui itu, Slamet segera mengambil jaket lusuhnya. Tanpa basa-basi ia menutupi punggung gadis itu.

Rachela menoleh. “Terima kasih.” Ia merapatkan jaket pemberian Slamet, lantas tak acuh kembali.

“Mari kita pulang.”

Rachela menggeleng. “Kamu harus minta maaf dulu!”

“Aku tidak bersalah, buat apa minta maaf.”

Rachela mendengus kesal. “Kalau begitu aku ngga mau pulang!”
Slamet tersenyum geli. “Bagaimana kalau permintaan maafnya, aku tukar dengan sebuah kisah asal-usul namaku?”

Rachela diam, tidak tertarik dengan segala sesuatu tentang nama Slamet.

Slamet tidak pandai membaca situasi. Ia tetap ingin bercerita, yakin kalau cerita itu akan membuat Rachela berhenti merajuk.

“Seperti yang dituturkan ibuku.” Slamet  mulai bercerita. “Ibu dan bapak sering berdebat hanya karena masing-masing ngotot ingin memberi nama anak sesuai pilihan mereka. Perdebatan itu tak kunjung menemui titik temu. Semakin besar kandungan ibu, semakin besar keegoisan mereka.”

Sebenarnya Rachela malas mendengar, tetapi demi menjaga perasaan Slamet, ia menoleh, pura-pura antusias.

“Jika anak yang lahir laki-laki, ibu ingin memberiku nama Imam Syafii. Ibuku memang relijius, sehingga nama yang disiapkan mengambil dari salah satu imam mazhab.”

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang