Chapter 8

37 14 1
                                    

Di sebuah pertigaan, Slamet tidak jadi belok kiri untuk meneruskan pekerjaan, membersihkan gedung madrasah. Ia belok kanan, menuju rumah Bu Pinah. Hatinya belum tenang jika belum menepati janji kepada Parno.

Sampai di tujuan, ia tertegun melihat seorang anak kecil sedang menjemur daun kamboja. Anak itu mengenakan caping agar tidak tersengat matahari. Dengan  telaten ia meratakan daun-daun kamboja di atas terpal.

Slamet mendekati anak tersebut. “Assalamu alaikum, Dik!”

Anak kecil bercaping itu menoleh. “Waalaikum salam!”

“Aku Slamet.” Slamet mengulurkan tangan.”Boleh tahu nama kamu?”

“Sunoto!” Anak bernama Sunoto itu menjabat tangan Slamet dengan malas.

“Ibu Pinah ada?”

“Ibu sedang pergi!”

“Kalau Parno?”

Anak berusia 13 tahun itu memandang Slamet penuh selidik. “Mas Parno sedang tidur.”

“Sunoto, boleh aku minta tolong?”

Alih-alih menjawab, Sunoto meninggalkan Slamet, menuju pos kamling untuk berteduh. Ia membuka caping, menggunakannya untuk berkipas-kipas.

Slamet mendadak ingat dengan anak kecil bertelanjang dada yang kemarin memanjat pohon mangga di halaman mushola. Ia segera mendekatinya. “Kamu yang kemarin memanjat pohon mangga di mushola bukan?”

“Kenapa memangnya?” Sunoto balik bertanya. “Buah di halaman mushola halal untuk siapa saja.”

Slamet tersenyum bijak. “Iya, aku tahu. Mbah Suto sudah menjelaskannya.” Ia duduk bersebelahan dengan Sunoto.

“Sampeyan yang tadi pagi ke rumah kami bukan?”

Slamet mengangguk. “Benar, kok tahu?”
Sunoto berdiri. “Aku melihat sendiri sampeyan berbicara dengan ibu.” Ia meninggalkan Slamet, setengah berlari menuju rumah.

Slamet segera mengejar. Langkahnya lebih cepat, sehingga sebelum Sunoto sempat meraih pintu, ia berhasil mencegat. “Maaf, bukan bermaksud mengganggu kalian. Aku ke sini untuk membantu Parno.”

Sunoto terdiam. Pandangannya tak acuh.

Slamet membujuk. “Kalian pasti ingin Parno kembali seperti dulu bukan?”

Sunoto menoleh. “Sampeyan bisa menyembuhkan Mas Parno?”

“Allah yang akan menyembuhkannya. Tugas kita berusaha.”

“Tapi ibu melarang sampeyan menemui Mas Parno!”

“Aku tidak akan masuk, hanya menunggu di sini sampai kakakmu bangun.” Slamet berusaha meyakinkan. “Kamulah yang akan membantu kesembuhan Parno. Bangunkan dia, suruh keluar rumah.”

Sunoto menggeleng. “Diguyur air pun Mas Parno tidak akan bangun.”

“Bilang padanya, ada seseorang yang akan menepati janji untuk menunjukkan matahari.” Slamet mengerjap.

Sunoto tak acuh. Ia masuk ke rumah, menutup pintu rapat-rapat.

Slamet bergeming, memandang pintu dengan perasaan kecewa. Setulus apa pun niat dalam hati, ia merasa tak berhak untuk terlalu dalam ikut campur masalah orang lain.

Dengan langkah gontai, ia melangkah pergi. Ada tugas yang lebih penting dari pada melakukan sesuatu yang berpotensi menimbulkan masalah. Masih banyak yang harus ia kerjakan untuk menghidupkan lagi madrasah.

“Mas!”

Slamet menghentikan langkah, menoleh ke sumber suara.

“Mas boleh menemui Mas Parno, tetapi jangan bilang-bilang sama orang lain, nanti aku dimarahi ibu.”

Slamet merasa gembira. Ia segera kembali sebelum Sunoto berubah pikiran. “Boleh aku masuk?”

Sunoto mengangguk, membukakan pintu. Setelah Slamet masuk, ia segera menutupnya kembali.

Slamet mengekor Sunoto yang memasuki kamar Parno. Di dalam, tampak Parno sedang tidur, memeluk guling.

“Sebentar lagi ibu pulang. Waktu sampeyan cuma 10 menit.”

Slamet mengangacungkan jempol. Pelan-pelan tangannya menepuk kaki Parno berkali-kali. “Parno, bangun! Aku ke sini untuk menepati janji!”

Parno bergeming.
Slamet kembali membangunkan Parno. “Di luar ada matahari, bangunlah!”

Parno menggeliat sebentar, kemudian menutupi seluruh tubuh dengan selimut.

Slamet membaca surat alfatihah 7 kali, ayat kursi 7 kali, Pelan-pelan disingkapnya selimut. Ia berbisik ke telinga Parno. “Parno, matahari! Parno, matahari! Parno, matahari!”

Parno menutup telinga rapat-rapat.
Tak mau menyerah, Slamet terus membangunkan Parno, tetapi belum juga berhasil.

“Waktu sampeyan tinggal 5 menit!”

Slamet menghela napas. Ia kehabisan akal, tak tahu harus menggunakan cara apalagi untuk membangunkan Parno.

Belum habis sisa waktu 5 menit seperti yang dikatakan anak itu, Bu Pinah datang. Ia melepaskan karung berisi daun-daun kamboja dari punggungnya.

Mengetahui kedatangan ibunya, Sunoto panik.

Selesai meletakkan karung, Bu Pinah berjalan menuju dapur. Langkahnya terhenti ketika melihat pintu kamar Parno sedikit terbuka. Penuh curiga, ia membukanya.

Melihat ada orang asing di dalam kamar anaknya, Bu Pinah marah. “Sunoto! Kenapa kamu biarkan orang ini masuk rumah?”

Sunoto menunduk, merasa bersalah.
Bu Pinah menunjuk muka Slamet. “Pergi dari sini!”

Slamet berusaha menenangkan Bu Pinah. “Maaf, saya hanya berusaha untuk...”

“PERGI!” Bu Pinah menunjuk pintu kamar.

“Baik, sebelum pergi, mohon maafkan atas kelancangan saya. Saya hanya ingin menepati janji.”

“PERGI!” Suara Bu Pinah melengking, membuat Parno terbangun.

“Mas Parno sudah bangun!” Sunoto memberi tahu.

Parno mengucek mata, memandang satu per satu orang yang berada di kamar. Ketika pandangannya tertumbuk kepada Slamet, ia gembira. “Kamu datang juga!”

“Iya, aku datang untuk menunjukkan matahari.” Slamet tersenyum senang, tapi wajahnya meredup ketika melihat Bu Pinah sedang melotot tajam kepadanya.

“Kenapa belum pergi?” Bu Pinah berkacak pinggang.

Slamet menatap Parno sejenak. Dengan gontai ia melangkah keluar.

Melihat Slamet pergi, Parno bangkit, mengejarnya. “Jangan pergi! Tunggu aku!”

Slamet yang sudah berada di luar rumah, menoleh. Tangannya menunjuk ke atas. “Lihatlah, di atas sana ada matahari.”
Parno keluar rumah dengan gembira. Ia mendongak, memandang matahari dengan mata terpicing. Hatinya senang bukan main.

“Matahari selalu melewati rumahmu. Kalau ingin melihatnya, tidurlah selepas isya dan bangun sebelum subuh.”

Alih-alih mendengar ucapan Slamet, Parno melompat-lompat kegirangan, menginjak-injak daun-daun kamboja.

Bu Pinah semakin marah. Ia segera menarik lengan Parno, menyeretnya masuk rumah.

Sunoto melambai kepada Slamet. “Terima kasih ya?”

“Sama-sama.” Slamet balas melambai sambil meninggalkan rumah Bu Pinah.

***

Bersambung

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang