Chapter 17

36 11 0
                                    

“Semua ini salah saya!” Ustaz Amin menunduk lemah. Sepasang matanya menyiratkan penyesalan. “Karena kebodohan lelaki tidak tahu diri ini, kalian menjadi susah.”

Ruang guru menjadi hening, tenggelam oleh derik jangkrik yang saling bersahutan. Semua diam, tenggelam oleh pikiran masing-masing. Mereka duduk, mengitari meja segilima, tanpa satu pun berani menegakkan kepala. Meja tersebut sudah ada sejak gedung madrasah ini didirikan. Ustaz Amin memesannya, sesuai perintah bapaknya, Kyai Abdul Ghani.

Haji Bakir bersedekap. Kepalanya menunduk, merasa malu dengan ucapan Ustaz Amin. Di sebelahnya, Slamet meneteskan air mata, menyesal tidak bisa menunaikan tugas dengan baik.

Ustaz Amin berdiri, berkeliling, mengitari meja. “Benar bahwa saya yang membiayai berdirinya gedung ini, tujuh tahun lalu, tetapi itu tidak cukup untuk membuat madrasah berjalan sebagaimana mestinya. Dulu waktu bangunannya masih terbuat dari papan, madrasah ini menjadi pusat dakwah. Kenapa setelah gedungnya berdiri dengan megah, yang terjadi sebaliknya?”

Pak Sekdes mengusap keringat di dahi. Ustaz Amin berada tepat di belakangnya.

“Karena saya sebagai penerus Kyai Abdul Ghani tidak pandai menghargai jerih payah bapak ini.” Ustaz Amin menepuk bahu Pak Sekdes. “Beliau berjuang mati-matian demi madrasah, sementara saya terlalu sibuk di luar pulau, menganggap masalah akan selesai hanya dengan mentransfer sejumlah rupiah.”

Pak Sekdes merasa tidak enak hati.

“Pak Sekdes rela mementingkan dakwah di atas tugas sebagai pelaksana pemerintahan desa dan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Bahkan beliau nyaris dicopot dari jabatan sebagai sekretaris desa karena ada yang keji memfitnahnya telah menggelapkan anggaran proyek pasar desa untuk kepentingan madrasah.”

Pak Sekdes menggigit bibir sendiri, teringat dengan kejadian tujuh tahun lalu. Ia sempat dimintai keterangan polisi atas kasus korupsi anggaran proyek pasar desa. Pada akhirnya, ia memang dinyatakan tidak terlibat, setelah polisi menetapkan kepala desa periode lama sebagai tersangka. Namun, isu yang berkembang di masyarakat tidak kunjung redam. Ia dan keluarganya harus menanggung tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar.

Ustaz Amin berjalan mendekati Kyai Langgeng. “Kyai Langgeng, seorang pendakwah gigih yang memiliki visi cemerlang, seharusnya saya banyak belajar darinya.”

Kyai Langgeng merasa gelisah, takut Ustaz Amin akan membeberkan aibnya. Dulu, ia pernah ditugasi Kyai Abdul Ghani untuk mengurus akta pendirian yayasan. Sebenarnya ia ingin menolak, karena seharusnya tugas itu diemban Pak Sekdes sebagai ketua yayasan. Namun, sebagai murid, ia tak berani membantah guru. Ia mengurusnya setengah hati. Setiap kali ditanya soal akta, ia selalu memberikan berbagai macam alasan.

Seminggu setelah Kyai Abdul Ghani meninggal, Ustaz Amin menanyakan perihal akta. Ia meminta Kyai Langgeng untuk berterus terang kalau memang akta tersebut belum terbit. Takut dianggap tidak bisa menjalankan tugas dengan baik, Kyai Langgeng terpaksa berbohong, menjawab akta itu tersimpan dengan baik.

Kyai Langgeng tidak kepikiran kalau Ustaz Amin bisa mengecek apakah akta itu sudah terbit atau belum. Ia berpikir, selama tidak disuruh menunjukkan dokumen akta, kebohongannya akan aman.

Ustaz Amin memang tidak meminta dokumen akta tersebut, tetapi ia mengecek langsung ke notaris. Setelah tahu bahwa yayasan yang didirikan bapaknya belum terdaftar, ia meminta klarfikasi kepada Kyai Langgeng.

Kyai Langgeng tidak bisa mengelak ketika Ustaz Amin mengetahui kesalahannya. Ia meminta maaf, dengan mengemukakan banyak alasan. Meski tidak dipermasalahkan, tetapi ia merasa malu.

Kebetulan, waktu itu Kyai Langgeng mulai banyak undangan ceramah, sehingga ia punya banyak kesempatan untuk meninggalkan kampung. Di sisi lain, Ustaz Amin disibukkan oleh tugas-tugas di luar pulau Jawa, walhasil kedua orang tersebut tak pernah lagi bertemu, sampai malam ini.

“Tidak hanya belajar dari beliau, saya seharusnya menemui beliau sebelum menghidupkan kembali karena secara de facto dan de jure, beliau masih menjabat sebagai kepala madrasah.”

Kalimat Ustaz Amin memukul telak hati Kyai Langgeng. Ia menunduk dalam-dalam, sadar sedang disindir. Wajahnya merah padam.

Ustaz Amin kembali ke kursinya. “Sekarang, saya ingin mendengar pendapat kalian, bagaimana caranya madrasah ini bisa hidup kembali?”

Hening!

“Begini saja.” Ustaz Amin mendesah tertahan. “Saya akan aktifkan pengurus lama, dengan menambahkan Haji Bakir dan Imron.”

Pak Kades memandang Kyai Langgeng. Yang dipandang hanya menunduk.

Haji Bakir mengangkat tangan. “Menjadi pengurus atau tidak, bukan masalah buat saya, yang penting madrasah hidup lagi dan mushola bisa makmur, seperti dulu.”

Pak Sekdes menimpali. “Saya siap ditugaskan lagi, Ustaz! Bagaimana dengan Kyai Langgeng?”

Kyai Langgeng terkesiap. Buru-buru ia mengangkat dagu. “Mohon maaf sebelumnya. Bukan saya tidak bersedia, tetapi jika Imron dimasukkan ke dalam kepengurusan, sementara saya masih dipertahankan, nanti kesannya kurang baik. Saya setuju Imron dimasukkan dalam kepengurusan. Sebagai orang tua, saya akan membantunya dari balik layar.”

Haji Bakir tersenyum masam, sudah menduga, Kyai Langgeng akan menolak.

“Baik, terima kasih, Kyai Langgeng.” Ustaz Amin tersenyum puas. “Kalau begitu kita sudahi pertemuan malam ini. Kapan kita bisa berkumpul lagi untuk membahas secara lengkap soal kepengurusan yayasan dan madrasah?”

Pak Sekdes mengangkat tangan. “Lusa saya punya waktu.”

Haji Bakir menimpali. “Selama masih sehat, insya Allah saya siap kapan saja.”

Ustaz Amin menoleh kepada Kyai Langgeng. “Saya mohon kepada Kyai Langgeng untuk memastikan kesediaan Imron.”

“Insya Allah Imron bersedia. Nanti saya kabari secepatnya setelah bertemu dengannya.”

“Baiklah.” Ustaz Amin memandang semua peserta pertemuan. “Terima kasih atas kesedian bapak-bapak. Jadi, kita sepakat untuk melakukan pertemuan lagi, lusa malam?”

Haji Bakir mengangkat tangan, kemudian menoleh kepada Slamet. “Sebelum pertemuan disudahi, saya ingin menggunkana kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih kepada Ustaz Slamet yang sudah berjuang semaksimal mungkin demi madrasah dan mushola. Mohon maaf atas ketidaknyamanan selama berada di kampung ini.”

Slamet mengangguk hormat. “Saya yang harus berterima kasih dan memohon maaf.”

Pak Sekdes menepuk bahu Slamet. “Jangan menyerah, Ustaz!”

“Terima kasih, Pak!” Slamet tersenyum.

“Ada yang ingin disampaikan atau ditanyakan?” Ustaz Amin memandang peserta pertemuan. “Kalau tidak ada, saya tutup pertemuan ini.”

***

Bulan Dalam GenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang