3

323 56 36
                                    




:: Selamat Membaca ::


"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"


Butik sedang ramai belakangan. Musim orang nikahan, jadi banyak yang cari kain hanbok dan menjahitkan. Butik Hansoonrye ini usaha keluarga. Nyonya Hwang Misun, eomma Jiyeon, generasi kedua yang mengelolanya. Ada tiga butik di Seoul, satu di Ulsan, Jeonju, Busan, dan Seongju . Rencananya, tahun depan akan dibuka cabang di Jeju dan Pyongchang. Meskipun produk utama adalah pakaian hanbok dan barang-barang tempat tidur, yang dibuat dengan kain sutra. Mereka juga melayani khusus jahitan pakaian pengantin plus pesanan souvenir.

Keuntungan memiliki orang tua pengusaha itu, lulus kuliah Jiyeon tidak perlu bingung cari kerja. Namun, tidak seratus persen nepotisme juga, soalnya tetap melalui seleksi. Hampir setahun Jiyeon mengurusi keuangan Butik Hansoonrye Seoul, sekaligus menjadi salah satu anggota tim perancang busana. Khusus yang satu itu, Jiyeon masih dalam tahap percobaan. Setidaknya, tiga rancangannya sudah diproduksi. Lumayanlah.

Saat ini, dia sedang berada di ruangan kerja, yang dulu di pakai Eommanya. Meskipun tidak terlalu besar, semua kebutuhan ada di situ. Satu meja kerja beserta kursi, satu sofa dan meja panjang untuk tamu, satu lemari file dan satu rak buku pendek yang di atasnya ada TV 21 inch. Sebuah kabinet di sudut kiri, tempat meletakkan dispenser dan perlengkapan membuat minuman di bagian atas dan ada kulkas kecil dibawahnya.

Jiyeon sedang browsing website butik saat ponselnya berbunyi. Seungho menelepon. Yaaay!

"Halo, Seungho. Sehat?" Senyum Jiyeon mengembang dengan sendirinya.

"Halo, Jiyeon. Sehat. Kamu gimana?" Suara Seungho yang empuk merdu itu membuatnya tersenyum-senyum.

"Sehat. Aku masih di butik nih, ada sedikit kerjaan ekstra. Eh, kamu sudah baca e-mail-ku?"

"Yang tentang si Minah menikah itu?"

"He-em. Hebat ya, sudah berani melangkah ke tahap itu. Agak ngiri juga."

"Ngiri? Emang kamu ingin nikah?" tanya Seungho.

"Hm? Iya lah, suatu saat." Bagus, bagus. Pembicaraan sudah mengarah sesuai topik yang diinginkan. Jiyeon sengaja mengirim e-mail ke Seungho mengenai pernikahan Minah untuk mengusik hatinya agar mau membicarakan hubungan mereka. Memancing-mancing apakah pernikahan ada di dalam agendanya. Bukannya Jiyeon ingin menikah cepat-cepat, tapi setidaknya dia tahu akan ada rencana kesana.

"Sama siapa?" tanya Seungho. Oh, semoga saja dia iseng bertanya seperti itu.

"Kok sama siapa? Sama yang nanti ngelamar aku lah," jawab Jiyeon, berpura-pura bercanda. Sama kamu tahu. Emang sama siapa lagi. Ayo dong buruan bilang.

"Hm, berarti siapa cepat dia dapat dong," katanya. Semoga ini juga gurauan saja.

"Iya, siapa yang melamar duluan itu yang akan kunikahi," kata Jiyeon, dengan tawa garing.

"Oh ya, Ji. Aku mau minta tolong. Aku butuh alamat e-mail dan nomor Son Seunghwan kyosu-nim, profesor kita di kampus dulu. Aku sudah coba hubungi e-mail yang kupunya, tapi sepertinya sudah tidak aktif. Tolong carikan ya. Ada hal penting yang ingin kukonsultasikan." Lho, lho, lho. Tanpa lampu riting lebih dulu, tiba-tiba saja pembicaraan berbelok ke topik yang sangat berbeda. Selalu seperti ini.

"Oke," kata Jiyeon, setengah kecewa. "eh, Seungho-ya, di kartu kado untuk Minah nanti kutulis dari aku dan kamu, ya?" Dia berusaha lagi menyinggung topik sebelumnya.

"Dari kamu saja, nggak apa-apa. Ji, aku harus pergi sekarang. Bentar lagi ada kuliah. Oh ya, aku kirim paket buat kamu. Ditunggu aja minggu ini. Semoga kamu suka. Oke, salam buat semuanya. Jangan lupa kirim e-mailnya Son Kyosu-nim ya. Kutunggu. Dadah."

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang