2

394 58 38
                                    





:: Selamat Membaca ::

"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"

Gila, itu kekasihnya Yein! Canggih!

Keran yang sudah dimatikan itu dihidupkan lagi. Terbayang adegan sore tadi.

"Oh, Yeinnya kebetulan sedang tidak ada di rumah," kata Jiyeon bohong. Rasa sok ingin melindunginya keluar. Yein tadi bilang dia tidak mau menikah sama lelaki itu. Tapi, kalau dipikir-pikir, Yein salah urat mungkin ya. Serius tidak mau sama lelaki ini?

"Kapan dia ada?" tanyanya. Dari raut wajahnya, dia agak gelisah. Berkali-kali melihat jam, mungkin ada janji penting lain yang telah menunggu.

"Nanti malam mungkin. Mau kusampaikan pesannya?"

"Sial," gumamnya. "Aku harus pergi sekarang. Tolong bilang ke Yein, kalau aku akan kesini nanti malam jam tujuh atau delapan. Bilang juga sama dia untuk mengaktifkan HP. Ditelepon dari pagi nggak ada terus. Makasih. Permisi." Lalu, dia pergi, dengan sedikit senyum yang membuat hati Jiyeon seolah kesetrum.

Tidak dapat dipercaya. Dibasuh kembali wajahnya berkali-kali. Menyandingkan Yein dan lelaki itu dalam satu frame, sungguh membuat wajah Jiyeon gata-gatal. Apalagi memikirkan kalau Yein menolaknya. Sungguh tidak masuk akal.

Tahu tidak kalau Yein itu beruntung, ada yang jelas-jelas mengajaknya menikah? Seungho nembak saja belum. Dulu, lelaki itu Cuma bilang "Kita jalan bareng yuk".

Uh, jadi panas dalam deh, kalau ingat Seungho. Seharusnya, kuhentikan saja omong kosng kalau aku nggak apa-apa punya hubungan tanpa jadian. Bagaimanapun aku juga ingin dengar kata-kata itu. Saranghae Jiyeon-ah. Will you marry me?, batin Jiyeon.

Gadis berambut lurus itu keluar dari kamar mandi dan setengah berlari menuju kamar. Laptop di tas dikeluarkan dan diletakkan di atas meja belajar. Laporan keuangan butik dikerjakan nanti saja. Dia harus menghubungi Seungho untuk membicarakan posisi hubungan mereka sebenarnya seperti apa. Namun, jam berapa sekarang disana? Amsih jam kuliah. Eh, tapi ini kan hari Minggu.

Sembari menunggu booting, Jiyeon mengambil ponsel di atas kasur. SMS Seungho, memberi tahu untuk mengajak skype-an. Balasan diterima beberapa saat kemudian. Yah, Seungho sedang ada ekskursi, sampai ke rumah nanti malam. Itu sih, dini hari disini. Mending tidur.

"Nona Jiyeon." Suara ketukan pintu kamar mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Yein muncul dengan wajah sendunya. "Orangnya bilang mau kesini pukul berapa, Nona?"

"Siapa?"

"Sunggyu Oppa."

"Sunggyu Oppa siapa? Oh, kekasihmu? Pukul tujuh atau delapan gitu katanya," ujar Jiyeon sambil meilirik jam. Tujuh kurang sepuluh menit. Hmm... jadi nama lelaki itu Sunggyu.

"Nanti saya ditemani ya, Nona. Saya tidak berani sendirian nemuin dia. Pasti saya tidak bisa ngomong apa-apa, ngikut saja. Apalagi kalau dia nanti kesini lagi sama orangtua saya." Jari-jari tangan gadis tinggi kurus itu bergantian memijit satu sama lain, menandakan dia makin gelisah.

"Lho, kalau memang kamu nggak mau, ya bilang aja, Yein. Menikah kok dipaksa-paksa. Apapun itu kalau dipaksa nggak akan baik hasilnya, apalagi menikah," kata Jiyeon dengan gaya sok bijak.

"Habis dia selalu bawa-bawa orangtua saya, kan saya jadi susah untuk menolak. Aboeji Eommoeni banyak berhutang budi dan uang dengan keluarga Sunggyu Oppa." Yein berdiri menyandar pada pintu.

"Memang masih musim ya, Yein, nikah karena membalas budi?" tanya Jiyeon. Pilihan kata-katanya sepertinya kurang tepat. Wajah Yein jadi semakin keruh.

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang