16

250 61 75
                                    

:: Selamat Membaca ::


"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"

Semalaman, Jiyeon tidak bisa tidur, memikirkan Myungsoo. Kata-katanya seperti rayap yang menggerogoti kayu, sedikit demi sedikit mengunyah keteguhannya. Jiyeon merasa seperti pengkhianat, berselingkuh dari Seungho karena sebagian hatinya mekar berbunga telah ditembak Myungsoo. Apa dia sudah menjadi perempuan yang tidak setia?

Jiyeon tidak memberi jawaban pada lelaki itu semalam, tapi tidak juga menolaknya. Dia hanya bisa terdiam seperti orang terhipnotis, sampai Myungsoo pamit pulang. Benar-benar Jiyeon menyesal, kenapa dia tidak mengatakan sesuatu. Bodohnya.

Saat ini sudah pukul empat kurang sepuluh menit. Jiyeon sudah tidak sanggup menahan beban di dada. Dia harus mengatakannya pada seseorang sebelum meledak. Tapi pada siapa? Kalau cerita pada Jieun, dia akan lebih ngomporin untuk meninggalkan Seungho.

Atau dia bilang saja pada Myungsoo kalau tidak mau jadi pacarnya? Sepertinya itu yang paling benar. Lagipula setelah dipikir-pikir, Myungsoo tidak mungkin serius dengan perkataannya. Dia hanya memanfaatkannya untuk melarikan diri dari Soojung dan keluarganya. Menjadikannya bamper. Tidak sudi!

Baiklah, akan dia katakan padanya saat ketemu nanti. Jiyeon akan menolaknya.

Jarum jam seperti tidak berpindah dari tempatnya semula. Waktu terasa begitu lama. Apa sebaiknya mandi saja sekarang? Tapi ini belum jam lima.

Ponselnya berbunyi. Kim Myungsoo Calling. Aduh, perutnya melilit. Semoga dia masih mengiranya tidur, jadi tidak menelepon lagi setelah sekali tidak diangkat.

Ternyata dia terus-menerus menelepon.

"Halo." Terpaksa Jiyeon mengangkatnya.

"Bangun, Jiyeon, sudah hampir jam lima," kata Myungsoo. Dia menelepon untuk membangunkannya. Tidak tahu saja dia kalau dirinya sudah terjaga sejak pukul dua dini hari.

"Nanti aku mau bicara penting," kata Jiyeon.

"Mau bubur atau sandwich panggang?" tanya Myungsoo. Dia tidak mendengarkan omongan orang apa, malah menawarkan makan. "Lima belas menit lagi aku menunggumu dibawah, kita jalan cari sarapan."

"Eh, nggak mau."

"Nggak mau makan pagi? Sarapan di hotel sebelum jam enam belum ada. Lima belas menit lagi ya."

"Tunggu dulu. Jangan seenaknya memerintah orang gitu. Aku nggak suka gaya bicaramu yang seperti komandan itu. Memangnya aku anak buahmu, harus menuruti semua instruksimu?"

"Empat belas menit lagi."

Telepon diputus sama dia. Jiyeon mengumpat, semakin kuat alasan Jiyeon untuk menolaknya nanti. Setelah bilang ingin menjadikannya pacar, seharusnya sikap Myungsoo padanya berubah. Minimalnya cara bicaranya lebih halus sedikit, supaya Jiyeon makin terkesan. Ini masih saja seperti Bos.

Lima menit kemudian terdengar pintu kamar diketuk-ketuk. Sepagi ini siapa yang ingin menemuinya? Room service? Atau jangan-jangan Myungsoo sudah sampai?

Jiyeon berjalan ke arah pintu, membuka kuncinya lalu menarik gagang pintu.

"Jijiiiiiii!"

Jiyeon kaget melihat Jieun sudah ada dihadapannya. Dia benar-benar menyusul kesini. Jieun menghambur ke kasur, meninggalkan tasnya di depan pintu. "Ngantuk, ngantuk, ngantuk. Di kereta nggak bisa tidur, lampunya nyala terus."

"Kesini naik kereta, Jieun? Ke Gochangnya harus naik bus dong? Terus ke hotelnya naik apa?" Jiyeon mengambil tas Jieun, membawanya masuk.

(Btw, d Gochang gak ada stasiun kereta, jd klw naik kereta turunnya d Jeonju atw Jeongeup, trs naik bus k Gochang).

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang