8

244 57 37
                                    



:: Selamat Membaca ::



"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"



Myungsoo sama sekali tidak dapat dihubungi. Kalau tidak diangkat, panggilannya di reject. Jiyeon merasa Myungsoo berlaku tidak sopan. Pesan pun tidak dibalas. Benar-benar manusia tidak punya perasaan, gerutu Jiyeon.

"Keruh amat wajahmu, Ji." Jieun mendekatkan wajahnya kepada Jiyeon, geleng-geleng kepala. "Nggak perlu dipikirin banget masalah Yein. Dia dibawa pulang keluarganya, kita nggak ada hak untuk melarang."

"Dia mau dipaksa nikah, Jieun. Pelanggaran hak asasi manusia itu."

"Ya mungkin sekarang Yein merasa dipaksa, tapi kalau nanti dia sudah nikah, jadi terbiasa, lalu malah jadi suka, gimana coba? Banyak kan pernikahan hasil perjodohan yang justru bertahan berpuluh-puluh tahun." Jiyeon merasa Jieun nggak membantu mmeringankan beban hatinya. "Ingat pepatah, Ji. Cinta tumbuh karena terbiasa," tambah Jieun lagi.

"Sok tau sekali." Jiyeon makin manyun. Tiga hari sejak Yein dibawa pergi pamannya, dia belum memberi kabar sama sekali. Nomor ponselnya juga tidak dapat dihubungi. Ibunya Jiyeon hanya dapat menghubungi Yang Ahjumma, orang yang dulu membawa Yein ke rumah mereka untuk menggantikan dia. Yang Ahjumma malah bilang tidak tahu tentang masalah yang terjadi kepada Yein.

"Gimana kabar Seungho, Ji? Kulihat di instagramnya dia lagi sibuk ujian.

"Nah itu sudah tau, ngapain tanya lagi."

"Ih, jutek amat. Kamu kenapa sih, belakangan jadi aneh." Jieun menutup pintu ruangan Jiyeon. "Baru empat hari nggak kudampingi kok auramu sudah berubah."

"Lagi sebel sama si tiang bendera itu," sembur Jiyeon, mengeluarkan kesal. Kemarin, dia menamai Myungsoo menara sutet, sebelumnya mercusuar. Semakin hari, semakin turun saja ketinggiannya.

"Siapa?"

"Kim Myungsoo."

"Memangnya dia ngapain?"

"Karena dia nggak ngapa-ngapain itu makanya bikin sebel."

"Ah, masalahnya bukan di dia kali, tapi di kamu. Mulai tertarik, tapi dicuekin. Hehehe..." Jieun terkekah-kekeh seperti dukun santet.

"Siapa yang tertarik sama dia? Nggak ya." Tukas Jiyeon, menolak mentah-mentah. Memikirkannya setiap hari kan belum tentu tertarik. "Dia itu sudah sejak awal melibatkan diri dalam masalah Yein, nggak seharusnya berhenti di tengah jalan begini. Setidaknya, menunjukkan niat baik untuk membantu sampai tuntas." Dengan gemas, Jiyeon mencoret-coret kertas dihadapannya. Sketsa desain baju rancangannya makin tidak karuan. apalagi, tintanya jadi belepotan.

"Apa pun lah. Di telingaku, kamu tetap tertarik sama cowok ini. Belum pernah aku lihat kamu geregetan sama cowok. Bahkan, belum pernah kamu ngomongin cowok lain selain Seungho. Perkembangan yang menarik." Jieun tidak menyerah untuk memprovokasi.

Ponsel Jiyeon berbunyi. Cepat-cepat diangkatnya. Nomor tidak dikenal.

"Halo. Halo." Suara diseberang tidak jelas. "Halo, siapa ini? Halo. Eh, Yein? Suaramu putus-putus, Yein." Jiyeon berdiri, menyingkir dari kursi, bergerak kesana-kemari,  mencari posisi yang tepat agar bisa mendengar Yein bicara. Padahal, mungkin tidak ada pengaruhnya, orang yang buruk sinyal dari sana. "Halo, Yein. Kamu dimana? Gochang? Apa? Jadi menikah? Yein, kamu nangis? Iya. Iya. Halo. Yein. Yein!" Sudah terputus.

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang