14

251 61 77
                                    





:: Selamat Membaca ::


"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"

Jiyeon berpikir kalau mereka hanya bercanda saja tentang mengumpulkan sanak saudara, ternyata tidak. Sekitar pukul tiga sore, satu per satu sanak keluarga Myungsoo datang. Entah itu keponakan dari Nenek Moonhee atau dari Kakek Sangjoong. Belum lagi sepupu-sepupu Myungsoo. Jiyeon benar-benar merasa seperti kimchi yang diserbu banyak orang. Maka dari itu dia minta Myungsoo membawanya pergi ke tempat Yein sekarang, sebelum mati kutu diberondong pertanyaan.

Sepanjang jalan, Myungsoo tidak bicara. Entah apa yang dipikirkannya, yang pasti tidak lagi menjawab pertanyaan tentang siapa Jiyeon setelah orang kelima bertanya. Bagaimana ya, dijawab macam apa pun, mereka tetap menyimpulkan sendiri kalau keduanya ada hubungan spesial. Myungsoo sampai heran sendiri, keluarganya heboh sekali dengan kedatangan Jiyeon. Dulu saja, sewaktu dia membawa Soojung ke rumah, kakek dan neneknya menyambut sekedarnya, selayaknya tamu.

"Klienmu banyak, dan pastinya beberapa dari mereka wanita cantik. Kenapa nggak dipacari saja salah satu?" tanya Jiyeon, membuka percakapan saat mereka sudah keluar dari kota. "Masih sayang sama Soojung ya?" lanjutnya. Sedetik setelah bertanya, Jiyeon menggigit lidah, menyesal bukan main. Menggabungkan dua pertanyaan sensitif dalam satu paragraf, salah besar. Myungsoo pasti akan mengeluarkan petir dari mulutnya.

"Kamu mau kuturunkan disini?" tanya dia. Beneran marah. "Jangan sebut nama Soojung. Kalau kudengar lagi, kutinggal kamu sendiri." Ancamnya.

"Sorry, sorry. Bukan bermaksud gimana-gimana sih. Sekedar menyampaikan pandangan umum saja." Jiyeon berusaha menetralkan lagi suasana, sambil menepuk-nepuk pundak Myungsoo agar mereda amarahnya. "Kalau aku sudah tahu dimana letak rumah Yein, kamu nggak perlu mengantarku lagi, supaya keluargamu nggak semakin salah paham."

"Kamu sudah punya pacar?" tanya Myungsoo tiba-tiba.

Jiyeon bingung bagaimana menjawabnya. Teman dekat atau seseorang spesial, dua-duanya, terasa mengambang. Mau bilang calon suami, Seungho belum pernah sekalipun membicarakan pernikahan. Bilang cinta dengan Jiyeon saja belum. Mungkin sebaiknya mengatakan kalau dia sedang jalan sama seseorang.

"Kita beli bensin sebentar," kata Myungsoo.

Ternyata Myungsoo tidak mempedulikan apa jawaban Jiyeon. Bahkan, sebelum Jiyeon menjawab, dia sudah tampak tak tertarik lagi dengan jawaban Jiyeon. Ada sebersit kecewa hinggap di hati Jiyeon.

Langit di selatan mendung. Semoga tidak hujan di perjalanan. Hanya ada satu jas hujan jubah dibawah jok motor ini. Dia juga lupa membawa payung. Terlalu buru-buru menghindar dari serbuan keluarga.

Setelah perjalanan panjang, melewati jalan bebatuan, dan persawahan, akhirnya motor berbelok, melewati perkebunan raspberry dan hutan pinus. Setelah dua rumah, motor berhenti dan mereka pun sampai.

Tidak seperti yang dibayangkannya, rumah Yein ternyata jauh lebih sederhana daripada rumah-rumah tetangganya. Warnanya putih kusam karena lama tidak dicat, atapnya bahkan tidak berbahan genting melainkan jerami. Pintu rumah itu terbuka, sedikit memperlihatkan sebuah meja kayu yang tak kalah uzurnya. Dari luar juga terlihat kalau lantai rumahnya masih tanah.

Seorang perempuan berumur sekitar akhir tiga puluhan keluar dari samping rumah. Tangan kanannya memegang seikat dedaunan, sepertinya kangkung, sedangkan tangan kirinya menggendong seorang anak perempuan yang mungkin belum ada setahun. Begitu melihat kedatangan mereka, dia meletakkan kangkung itu di tanah begitu saja, mengelap tangannya ke tepi kaus lusuh yang dipakainya dan datang menghampiri.

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang