9

256 53 55
                                    




:: Selamat Membaca ::



"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"

"Jangan bercanda kau, Ji. Serius mau ke desanya Yein? Di Gochang sana? Kan jauh banget. Apa kamu tahu dimana persis rumahnya? Sama siapa kamu kesana?" Jieun menyerang Jiyeon dengan pertanyaan bertubi-tubi. "Emang berani bilang ke Kim Sunggyu untuk membatalkan pernikahan mereka? Terus, kalau kamu diapa-apain sama keluarganya, gimana?"

"Makanya aku cerita ke kamu, Jieun. Temenin aku. Ya?" pinta Jiyeon dengan wajah memelas.

"Kapan sih berangkatnya?" tanya Jieun sambil mengambil buku agendanya.

"Lusa."

"Waduh. Lusa aku ada wawancara kerja. Nggak bisa diundur ya?"

"Lho, wawancara kerja apaan? Kamu mau keluar dari radio?"

"Perusahaan ayahnya Minhyun lagi buka lowongan PR. Aku mau coba." Jieun mengecek lagi buku agendanya. "Kalau minggu depan aja gimana, Ji? Kebetulan Yoseob sudah bisa aktif siaran lagi. Aku juga bisa minta cuti."

"Minggu depan ya keburu Yein udah nikah."

"Hari sabtu deh."

"Nikahnya hari sabtu, Jieun," seru Jiyeon gemas.

"Gimana kalau kamu minta ditemani sama si Myungsoo itu saja?" Usul Jieun membuat Jiyeon cegukan. "Dia asli orang sana, saudara jauh istri Kim Sunggyu pula, jadi pasti dia tahu desanya Yein. Setidaknya, bisa nganterin kamu kesana. Aku akan menyusul kalian setelah beres urusan wawancara kerja. Gimana?"

"Aduh, aku nggak mau ada urusan lagi dengan orang itu. Dia kayaknya bukan tipe yang suka menolong. Malas aku ditolak melulu sama dia. Harga diri lah."

"Ya daripada nyasar lebih baik muka tebal." Jieun mengembalikan buku agendanya ke tasnya, lalu bergabung dengan Jiyeon duduk di sofa. "Eh, Ji, terpikir nggak sih kalau kamu terlalu larut dengan masalah Yein ini? Siapa tahu memang takdirnya Yein harus menikah dengan Kim Sunggyu. Mau apa lagi? Masa iya, kamu yang bukan apa-apanya, mau turut campur dengan persoalan rumah tangga orang."

"Di telepon, Yein minta tolong sama aku, Jieun," kata Jiyeon. "Aku sudah pernah janji akan berbuat apa saja untuk membantunya."

"Kenapa nggak pacarnya saja yang dimintai tolong? Siapa namanya, Lee Sungyeol?"

"Aku sudah sampaikan ke Sungyeol kalau Yein jadi menikah. Kasihan dia, langsung nggak bisa ngomong di telepon. Pasti rasanya pedih ditinggal nikah sama pacar."

"Seru tuh kalau misal Sungyeol datang ke desa Yein, terus bawa dia kabur dari acara pernikahan. Pasti dramatis." Jieun jadi membuat skenario sendiri. "Eh, Ji, tapi serius lho. Menurutku, kamu jangan terlalu terlibat dengan permasalahan ini. Bukan hakmu untuk turut campur. Akhirnya, keputusan kembali pada Yein."

"Iya, aku tahu. Intinya, aku hanya ingin melihat Yein baik-baik saja. Dia sudah kuanggap adikku sendiri, Jieun."

"Ribet juga sih ya." Jieun menggaruk-garuk kepalanya. "Pendapat samchon dan imo gimana tentang hal ini?"

"Seperti yang kamu bilang tadi. Nggak berhak turut campur. Tapi, diluar itu, mereka akan bersedia membantu apapun yang bisa dibantu."

Mereka pun terdiam, memandang jarum jam yang bergerak monoton di dinding ruang kerja butik. Kelamaan berpikir tidak akan sampai keman-mana. Saat seperti ini yang diperlukan adalah beraksi.

"Aku akan tetap kesana. Hitung-hitung menyerahkan gaji Yein dan pergi kondangan. Ya, begitu. Sudah kuputuskan," kata Jiyeon sambil menggebrak meja, mengagetkan Jieun yang belum selesai melamun. "Sekarang aku harus cari tahu gimana caranya sampai ke Gochang. It's naver time."

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang