10

255 56 47
                                    


:: Selamat Membaca ::

"Sebab Mencintaimu Tak Membutuhkan Alasan"

Seungho berhenti mengutak-atik laptopnya, saat mendengar Jiyeon akan pergi ke Gochang, ke desanya Yein, bersama Myungsoo. Sulit dideskripsikan bagaimana ekspresi wajahnya. Marah kah? Cemburu? Semoga.

"Siapa Myungsoo?"

Pertanyaan yang bagus. Ini bisa menjadi awal untuk sedikit menggosok kepekaan Seungho, kalau dia tidak bisa selamanya bersantai dengan zona amannya. Jiyeon menceritakan dari awal sampai akhir mengenai siapa Myungsoo. Hal-hal yang terkait konfliknya dengan Soojung—yang dikira pacarnya, ternyata mantannya, yang telah menjadi istri orang, disimpan sendiri saja dulu lah. Dia tidak ingin Sungho menjadi parno.

"Kenapa nggak pergi saja sama Jieun, atau sendiri?" tanya Seungho. Sepertinya mulai sedikit menghangat bara jealousy di hatinya.

"Jieun nanti menyusul. Aku nggak tahu tempat itu, bisa nyasar kalau aku pergi sendiri. Kamu juga tau, navigasiku buruk," ujar Jiyeon.

"Hmm." Bibir Seungho sedikit tertekuk. "Jiji, kamu yakin nggak berlebihan menyikapi persoalan Yein ini? Kamu kan nggak perlu datang kesana. Tentang gaji, eommamu bisa mentransfer, atau kirim wesel, atau lewat cara yang lain yang banyak ditawarkan perusahaan pengiriman uang."

"Ini bukan hanya soal gaji, Seungho. Aku ingin memberikan support moral pada Yein. Setidaknya, sedikit meringankan beban hatinya. Kalau aku di sana, dia mungkin akan merasa lebih baik," kata Jiyeon. "Ini mungkin terakhir aku melihatnya, Seungho. Kalau dia benar-benar sudah menikah nanti, entah kapan kami akan bertemu lagi. Dia sudah banyak berjasa di rumahku dan aku peduli sama dia."

"Hmm." Lagi-lagi, bibir Seungho seperti itu.

Feeling Jiyeon berkata bahwa sebenarnya Seungho tidak setuju. Hanya saja Jiyeon tidak ingin memperjelasnya, biar Seungho yang bilang sendiri kalau laki-laki itu tidak ingin Jiyeon pergi. Coba, sekali saja, Jiyeon ingin dengar pernyataan sikapnya.

Jiyeon mungkin tetap tidak akan setuju dan mencoba bernegosiasi kalau dia melarangnya pergi, tapi setidaknya dia tahu sejauh mana Seungho memandang hubungan mereka. Kalau dia menganggap Jiyeon pacar, atau terlebih lagi calon istri, mempertimbangkan kemungkinan akan pergi ke tempat yang jauh, lebih dari sehari, bersama laki-laki lain, sepantasnya dia akan mengatakan tidak boleh. Dengan alasan begini begitu. Setidaknya itu yang ingin didengar oleh Jiyeon.

Dia ingin tahu seberapa level Sense of belonging Seungho kepadanya.

"Masih ada waktu untuk berpikir ulang, Ji. Aku hanya nggak ingin kamu membuang waktu dan tenaga. Memang seperti itu jalan hidup yang harus dilalui Yein, diterima saja," lanjut Seungho.

"Kalau misalnya aku tetap pergi bagaimana? Kamu keberatan?" tanya Jiyeon.

"Kalau itu maumu...." Seungho tidak juga melarangnya.

Okay, that's it. Dia akan tetap berangkat.

"Sebentar, Seungho, ada telepon." Terdengar ponselnya berbunyi. "Halo." Rupanya dari Myungsoo. Jiyeon memutar kursi ke samping, supaya lebih nyaman bicaranya. "Iya? Sudah, sudah bilang sama ortu. Dibolehin. Kita kesananya naik apa? Heh? Bus? Kenapa bus? Kenapa nggak pesawat saja, atau kereta? Ya bukan murahnya begitu. Kalau mau lebih murah jalan kaki saja. Kenyamanan yang paling penting. Kenapa sih memang kalau naik kereta? Nggak bisakah minta dijemput saudaramu? Apa maksudmu ingin membuatku susah payah? Siapa anak manja? Jangan sembarangan menuduh ya. Aku pernah naik motor ke Pelabuhan Pyeongtaek, tahu. Jauh itu."

SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang