"Heh, Lulu sama Serri. Selamat pagi!" sapa Dame seraya berjalan di antara kedua temannya. "Lagi pada ngomongin apa?"
"Serri ngimpiin Yuna, katanya," jawab Lulu.
"Iya, Dam. Semalem gue mimpi makan bakso sama Yuna. Kayaknya rasa kangen ke dia udah mulai kebangetan deh sampe kebawa mimpi." Serri terkekeh.
Dame memainkan ujung tali ranselnya. "Kapan ya dia masuk sekolah lagi? Udah hampir seminggu lho. Mau SMS juga bingung, takut salah sikap dan salah ngomong. Dia kan lagi sensi."
Lulu mendesah. "Gimana mau SMS? HPnya aja masih belum aktif."
"Kalian tau nggak?" Tiba-tiba Fide merangsek di antara Serri dan Dame yang terhenyak secara bersamaan, "hari ini ada razia lho."
"Hah, razia? Kok mendadak? Komik gue gimana nih?" Serri nyaris teriak karena panik.
Dame garuk-garuk kepala. "Gawat. Gue kan bawa CD buat dibalikin ke rental."
"Tenang, tenang." Fide nyengir. "Mau tahu razia apa? Penasaran ada razia apa?" Ia mengedikan dagu ke arah lapangan olahraga. "Liat tuh, cowok yang lo puja-puja, selalu jadi biang kerok, tukang jahil, master of pranskter, murid yang kreatifitasnya bisa bikin guru lari-larian."
Tiga orang lainnya serempak menoleh ke lapang olahraga yang tak jauh dari situ. Sekali lihat mereka langsung ngeh bahwa dua orang yang tengah kejar-kejaran di lapang yang masih sepi adalah Nara dan Pak Beni―guru olahraga kelas sebelas merangkap guru konseling. Bahkan murid-murid yang lain pun nampaknya bisa menebak identitas kedua tokoh utama itu, sebab mereka ikut berkerumun dan menyaksikan adegan 'heroik' tersebut dengan antusias.
Melihat Dame melongo dengan wajah ngeblank membuat Lulu terbahak. "Cowok lo emang orang gila. Pagi-pagi udah ngerepotin guru aja. Ngapain sih mereka?"
"Jadi, hari ini adalah harinya razia rambut. Cowok-cowok langsung keder. Untung gue udah potong rambut dari kemarin-kemarin. Nggak perlu panik sama razia mendadak." Fide meringis bangga, melirik cewek-cewek itu tapi nggak ada satupun yang menoleh untuk memuji rambutnya. Ia mendesah dalam diam.
Serri menarik-narik ujung lengan kemeja Dame. "By the way, lo lebih suka Nara rambutnya gondrong kayak sekarang? Atau pendek cepak kayak Fide?" tanya Serri.
Dame menatap Fide dan mengamatinya selama beberapa detik. Lalu ia menggeleng. "Gue nggak suka cowok yang rambutnya begini. Nggak seru, nggak ada poninya."
"Apa sih bagusnya pake poni? Mendingan cepak lah, kayak laki yang sesungguhnya." Fide kecewa, ekspektasinya untuk mendapat pujian gagal jadi kenyataan.
"Cowok berponi itu lucu. Lapang golfnya jadi ketutupan. Bikin imut," tandas Dame.
"Dulu gue ada poninya lo bilang jelek." Fide meradang.
Dame menyeringai sinis pada Fide.
"Cowok di komik kebanyakan ada poninya lho. Ngegemesin." Serri nyengir, lalu ia menunjuk Nara yang masih berusaha kabur dari Pak Beni. "Liat tuh, Pak Beni bawa gunting. Gimana kalo Nara jadi berakhir tanpa penutup lapangan golf?"
"OH NO!" Dame mencengkeram pagar pengaman lapangan olahraga, berlagak seperti fan girl yang memergoki idolanya sedang berkencan diam-diam.
Lulu mendadak tertawa kencang sambil memukul-mukul pahanya. "Gila! Kok dia jadi botak?"
"Siapa?" Serri menoleh ke arah pandangan Lulu.
"Itu yang lagi jalan di koridor." Lulu berdecit, karena berusaha bicara di tengah tawanya.
Dame, Serri dan Fide serempak memperhatikan sosok familiar yang berjalan dengan langkah jumawa di antara kerumunan siswa yang baru datang. Ketiganya otomatis terpana nggak percaya dengan penglihatan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chronicles of Senior Year [COMPLETED]
Teen FictionSekumpulan anak kelas 3 SMA yang menamai diri sebagai Keluarga Berantakan mengalami perubahan besar dalam pertemanan mereka. Hal itu terjadi sejak masa persiapan Ujian Nasional dimulai. Masalah percintaan, perbedaan gaya belajar dan cara menghadapi...