Kekhawatiran Dame, Rega, dan Serri nyata terbukti. Yuna dan Nino makin hari makin jarang bicara satu sama lain. Nino jelas karena terluka atas sikap Yuna yang dia anggap arogan dan sok penting. Sementara Yuna masih jadi pertanyaan besar bagi anak-anak itu. Antara merasa bersalah pada Nino dan bingung untuk menyapa duluan, atau masih sempat mendengar omelan kesal Nino dan sakit hati gara-gara itu.
Rega mendesah panjang dengan muka lesu. Dame yang sedang menyeruput es kelapa muda nyaris tersedak karena mendadak tertawa.
"Makanya minum pelan-pelan. Rakus sih lo!"
Dame batuk-batuk di tengah tawanya. Rega mendesah lagi, kali ini karena kecerobohan cewek di sampingnya. Ia menepuk-nepuk punggung Dame dengan ekspresi acuh. Separuh kesadarannya masih terjebak di dalam pikirannya.
"Lagian elo sih lebai," Dame terkekeh. "Ngapain coba pake narik napas dengan tampang begitu? Asli, jelek banget, Re."
Rega mendelik. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo nggak peka banget sih, Dam. Orang lagi ada masalah malah diketawain."
Dame menepuk-nepuk lutut Rega untuk minta maaf. "Abis lo dramatis banget. Kayak karakter di komik aja," ledek Dame. "Kenapa sih murung begitu?"
Rega mengernyit. "Gue nggak enak liat Yuna dan Nino diem-dieman. Bikin kagok."
"Jadi desahan napas lo itu gara-gara mikirin Yuna-Nino?" tanya Dame takjub. "Ya ampun, lo care banget sih sampe bisa sedramatis itu mikirin masalah temen."
"Serius sekali-kali bisa kan, Dam?" tegur Rega.
Dame nyengir. "Iya, serius kok. Gue kan lagi muji kepedulian elo."
"Whatever," desis Rega.
Dame memiringkan kepalanya. "Tapi gue masih bingung deh, kenapa Yuna sama Nino jadi diem-dieman cuma karena cekcok ringan begitu? Gue ngerti mereka sakit hati, tapi nggak mesti jadi berbuntut panjang begini kan?"
"Mungkin mereka lagi sensitif."
Dame mendesah. "Terlalu sensitif. Padahal namanya juga lagi ngobrol, becanda doang nggak usah dimasukin ke hati lah."
Rega mencibir. "Itu sih elo. Jago nyuekin ledekan, malah cenderung seneng kalo diledekin."
Dame terkekeh. "Nggak juga, Re. Gue pernah kok sakit hati waktu diledekin. Tapi murung dan sedih tuh nggak enak banget. Bikin ngapa-ngapain jadi males. Lo tau sendiri kan, nggak begitu aja gue suka cenderung males? Bisa makin susah gerak nanti."
Rega nyengir sambil manggut-manggut. "Iya sih. Lo ratunya pemalesan." Ia menyandarkan tubuh pada pohon besar di belakangnya.
Selain pojok kantin, pohon besar di samping lapangan olahraga juga jadi tempat favorit Keluarga Berantakan di sekolah. Daunnya yang rindang dan rumput yang terawat bikin tempat itu nyaman dan mampu meninabobokan siapapun yang nongkrong di sana.
Rega menguap. Ia meletakkan tangan di belakang kepala sebagai penyangga. Tatapannya menerawang jauh ke depan. "Gue iri sama lo. Gimana sih cara lo buat ngelupain omongan nyebelin orang-orang?"
Dame menoleh. Mulutnya agak manyun karena sibuk menyeruput kelapa mudanya. "Cuekin aja." Ia meletakan kelapanya di atas rumput dan merubah posisi kakinya jadi selonjoran. Menikmati santainya jam istirahat kedua dan secercah cahaya matahari yang nyelip di antara dedaunan. "Ambil cemilan terdekat, ambil earphone, sumbat telinga sama lagu-lagu favorit yang bisa jadi obat kalo lagi bete."
Rega melirik Dame. "Playlist lo apa aja kalo lagi nggak enak hati begitu?"
Dame mengusap-usap kakinya dengan santai. "Banyak banget, Re." Ia mulai menghitung dengan jarinya. Wajah Dame bersemu ceria saat menyebutkan lagu-lagu favorit yang nggak cukup dihitung dengan dua tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chronicles of Senior Year [COMPLETED]
Teen FictionSekumpulan anak kelas 3 SMA yang menamai diri sebagai Keluarga Berantakan mengalami perubahan besar dalam pertemanan mereka. Hal itu terjadi sejak masa persiapan Ujian Nasional dimulai. Masalah percintaan, perbedaan gaya belajar dan cara menghadapi...