Ep 3 • I'm with The Prankster, But That's Okay

19 2 0
                                    

"Woi! Tau nggak?" Didan berseru saat memasuki kelas, membuat semua kepala menoleh padanya. Didan melempar ranselnya ke sembarang meja, lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. "Ini soal UN. Katanya, batas kelulusan berubah jadi 5,25."

"HAAAAHHHHH??" Satu kelas berkoor kompak. Lalu berikutnya, keributan di ruangan itu sudah seperti makanan busuk yang dikerumuni lalat lagi panen.

"Sebenernya batas nilai tuh mau sampe angka berapa sih? Sialan!" Nino menendang kaki meja yang didudukinya.

Serri pindah dari kursinya ke tempat Yuna di meja paling depan. Dame mengekor di belakangnya. "Lo dapet berita itu dari mana, Dan? Asli nggak tuh?" tanya Serri.

"Tadi liat di berita pagi." Didan mendesah. "Gue mulai mati rasa nih, sampe nggak tahu mesti pasang ekspresi kayak gimana. Barusan aja gue nggak ngeh bisnya udah nyampe halte."

"Barudak (bahasa Sunda: hey, teman-teman)!" Fide muncul di pintu kelas dengan suara lantang.

"Oh, mantan ketua OSIS. Ada apa gerangan pagi-pagi mampir kemari? Kalau mau bahas soal UN, mending anda segera minggat dan kembali ke alamnya. Di sini nggak nerima keluhan apapun. Maaf." Rega menjulurkan tangan seolah menahan keduanya agar tak mendekat.

Nino dan Serri mengikuti gerakan Rega di tempatnya, sementara Dame malah terang-terangan mendorong Fide hingga keluar kelas.

"Toko belum buka. Silahkan datang lima ratus tahun lagi." Dame menyilangkan tangan di dada, belagak jadi security untuk kelasnya.

Fide menatap Dame seolah gadis itu orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Ia lalu mendengus mengabaikan Dame. "Jadi kalian nggak mau denger cerita baru tentang UN nih?" tantang Fide mengalihkan perhatian pada anak-anak yang lain.

"Udah tau kaliii!!" koor mereka serempak.

"Emang lo doang yang update sama berita?" sindir Nino.

Fide geleng-geleng kepala. "Maaf ya anak-anak, tapi info yang saya bawa bukan berita yang ditayangin pagi ini di TV." Ia tersenyum arogan.

Serri mencondongkan tubuhnya dan melipat tangan di atas meja. "Emang ada lagi berita baru ya?" tanyanya waspada.

Fide mengangguk, merasa di atas angin.

"Ih nyebelin! Apaan lagi siiiihh? Berubah mulu." Yuna menyodok pinggang Nino kesal.

Otomatis Nino melompat kaget dari tempat ia duduk sambil mencengkeram pinggangnya yang linu. "Kontrol diri, Na! Ini pinggang gue. Bukan samsak!" protesnya.

"Jadi mau tau nggak? Kalo nggak, yaaaa uuuudah." Fide berbalik untuk jual mahal. Seringai lebar menghiasi wajah Fide saat anak-anak mencegah kepergiannya. "Yakin mau tau?"

Seisi kelas serempak menatap Fide dengan sorot penuh dengki. Fide yang awalnya bermaksud mencairkan suasana dengan candaan, langsung mengurungkan niatnya, sadar anak-anak ini udah nggak bisa diajak bercanda. Ia buru-buru menjelaskan sebelum jadi korban 'pembantaian'. "Tenang semuanya. Dengerin dulu. Jadi tadi gue sempet nguping obrolan di ruang guru. Katanya, ada kemungkinan pas ujian nanti, kelas-kelas yang ada bakal dipecah urutan duduknya."

"Maksudnya?" tanya Didan, mulai merasa parno.

"Kalian juga tau kan, jumlah murid di tiap kelas beda-beda? Mereka pikir, kalo tiap kelas terisi penuh, ngawas ujiannya bakal jadi lebih efektif. Dan biar semua bangku terisi, nanti absennya bakal ditarik ke kelas sebelumnya. Misalnya nih, IPS 1 kan kalo nggak salah ada tiga puluh delapan ya? Biar penuh, nanti diambil dua absen pertama dari IPS 2, jadi pas kan empat puluh. Nah, nanti buat ngepasin jumlah peserta ujian di IPS 2, diambil lagi sisa kurangnya dari kelas kalian. IPA sama Bahasa juga sama kayak gitu," terang Fide.

The Chronicles of Senior Year [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang