Ep 22 • Dilema Online

2 0 0
                                    

"YES! Besok kamis! Kita... libuuuur!!" Nino memukul-mukul meja dalam irama tak jelas diikuti Ardi dan Axel.

Rega melompat keluar dari mejanya melewati Didan untuk bergabung dengan dua anak itu.

Serri yang lagi ngobrol sama Ananda―temen sebangku Yuna―menutup kedua telinganya. "Berisik!" teriaknya, sambil tertawa sama Ananda.

Sedangkan Yuna menempelkan badannya rapat-rapat ke dinding kelas dengan mulut terkatup. Wajahnya mengeras, tampak menahan diri agar nggak emosi.

Didan memperhatikan gerak-gerik anak-anak itu dengan muka blank.

Sejak mengetahui ada rahasia yang disembunyikan darinya sabtu lalu, ia jadi tak bisa mengalihkan pandangan dari teman-temannya. Ia penasaran setengah mati dengan fakta apa yang sebenarnya mereka simpan. Tapi Didan hanya bisa menduga-duga. Mau bertanya pun ia segan, bingung gimana caranya memulai.

Didan sadar, mereka pasti punya alasan kenapa menyimpan rahasia itu darinya. Dan itu membuatnya takut untuk bertanya, takut jika mereka marah dengan keingintahuannya, takut dirinya juga akan dijauhi seperti Yuna.

Dame―yang baru kembali dari toilet―masuk kelas dengan heboh, membuat Didan terkesiap dari lamunannya. Tatapan Didan mengikuti sosok cewek itu berjalan ke tempat duduknya. Ia mendesah melihat Dame dan Serri yang tertawa menyaksikan empat orang gila memukul-mukul meja. Dari sudut matanya ia melihat Yuna makin merapatkan tubuhnya ke dinding, berusaha fokus pada buku di hadapannya. Didan mendesah, ingin bertanya Yuna kenapa, tapi ia segan.

Tanpa sadar Didan berdecak. Kenapa harus ada kejadian begini?

* * *

"Liburan tanpa syarat adalah," Landri merebahkan tubuhnya ke atas sofa, "surga."

Dame mendengus. "Apanya yang surga? Boro-boro bisa duduk santai, mana bisa tidur tenang, tanpa syarat apanya? Yang ada di pikiran cuma rumus, teori, kosakata, tanggal penting. Heugh!" Dame melempar tubuhnya ke sofa kecil di samping Landri. "Gue mau gimana nanti di kelas?"

Landri melipat tangan untuk menyangga kepala. "Kan banyak anak pinter di kelas lo."

Dame memanyunkan bibirnya tanpa mengatakan apapun.

Landri melirik Dame. Ia mengatupkan bibir rapat-rapat, keningnya berkerut, dadanya bergejolak, tak sanggup untuk menahan hasrat ingin bertanya pada Dame. Ia mendesah. Rasa penasaran mengalahkan gengsinya.

"Woi," Landri mencolek lengan Dame dengan jempol kakinya. "Ada apa sih di kelas lo?"

Dame mengernyit, masih tampak acuh. "Apanya?"

Landri merubah posisinya jadi duduk. "Kalian berantem sama Yuna ya?"

Dame menoleh cepat. Matanya membelak dengan kadar kekagetan di atas normal.

"Ares cerita," jawab Landri, seolah bisa membaca pertanyaan di otak Dame. Ares memang sempat cerita soal kejadian yang ia lihat di bawah pohon dan gosip-gosip yang beredar di sekolah akhir-akhir ini. Jadi ia tak berbohong sepenuhnya. Meskipun sudah tau detilnya dari Serri, ia masih tak bisa menahan diri untuk mendengarkan cerita dari sudut pandang Dame.

"Jadi Ares denger ya?" gumam Dame.

"Kalian kenapa sih? Udah mau perpisahan malah berantem." Landri tersenyum sinis.

"Mau tau aja deh lo." Dame bangkit menuju balkon, mengacuhkan Landri yang penasaran setengah mati.

"Ihh!" Landri menggeram kesal. Ia bangkit mengikuti Dame. "Sis, yaealah, sis. Kita kan sodara sedarah satu generasi. Pelit amat lo bagi-bagi cerita. Gue kan lagi berbaik hati buat peduli sama lo, hargain dong."

The Chronicles of Senior Year [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang