Gabriel pulang ke rumah saat hari telah petang. Tepat pukul 8 malam mobilnya memasuki garasi. Ia harus kembali ke kantor karena Toby membutuhkan tanda tangannya. Lagi-lagi sahabatnya itu memilih untuk lembur daripada pulang ke rumah.
"Kali ini ada apa lagi?" Gabriel.
"Biasa, memangnya apa lagi?" Toby tersenyum masam.
"Apa perlu kucarikan rumah untukmu?"
Toby menggeleng, "aku sudah membeli sebuah rumah beberapa minggu lalu."
"Lalu?" Gabriel tak mengerti.
"Hanya saja rumah itu terasa kosong. Setidaknya aku membutuhkan sebuah rumah yang berisi, entah itu berisi penderitaan ataupun kebahagiaan." kata Toby. Gabriel menepuk bahu Toby.
"Kalau kau sudah tak merasa nyaman, maka lupakan ." kata Gabriel.
"Tapi dia ibuku." Toby termenung.
"Melupakan bukan berarti meninggalkan. Kau bisa memilih untuk melupakan setiap kelauannya, tapi kau tidak meninggalkannya." Gabriel paham betul apa yang dirasakan sahabatnya itu. Tinggal dalam sebuah keluarga yang hancur bukanlah sesutu yang mudah.
"Sulit." singkat namun terasa selamanya. Kata itu begitu singkat dan lama di saat yang bersamaan.
Gabriel memijit pelipisnya. Toby akan memilih untuk tidur di kantor daripada pulang ke rumah. Menyaksikan ibunya yang telah berusia 46 tahun membawa lelaki muda seusianya bergantian setiap hari. Toby sadar, ia hanyalah anak yang tidak jelas siapa ayahnya. Ayahnya, bukan ayah kandung tentunya, memilih berpisah dari ibunya karena kelakuan wanita itu yang begitu liar hingga di usianya yang kepala 4 itu. Wajar saja jika ayahnya memilih jalan cerai.
Toby adalah seorang sahabat yang baik. Di balik kata-kata pedas penuh maknanya itu, Gabriel merasa beruntung selalu mendapat nasehat dari Toby. Masalah Toby begitu pelik. Entah apa yang dapat Gabriel lakukan untuk membantu sahabatnya itu.
'Woah... Kau sangat cantik Krys!' Gabriel mendengar suara Carren. Terdengar ceria dan... Dengan siapa Carren bicara. Seingatnya ia tak memiliki pelayan bernama Krys. Gabriel naik ke lantai dua. Ia berencana memeriksa ke kamar Carren. Dan melihat siapakah yang Carren ajak bicara.
'Seharusnya kita bertemu lebih cepat. Aaa... Aku suka mendandanimu. Kau lebih mirip adik kecilku daripada temanku...' Gabriel menguping di depan kamar Carren.
'Besok kita akan belanja baju-baju untukmu. Jangan khawatir,' kata Carren lagi.
'Tunggu, Carren... Kau tidak perlu repot-repot membelikanku baju. Setelah aku merapikan toko rotimu, aku akan pergi.' suara seorang perempuan. Namun terdengar asing di telinga Gabriel.
Cklek!
"Kakak! Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?" kesal Carren. Sementara Krysan dengan cepat bersembunyi di belakang tubuh Carren.
"Siapa temanmu?" tanya Gabriel.
"Bukan urusanmu." balas Carren.
"Tentu saja itu menjadi urusanku. Siapa yang ada di belakangmu itu?" Gabriel berjalan mendekati kedua gadis yang tengah berdiri beberapa langkah darinya itu. Setelah tepat di depan Carren, Gabriel bisa melihat seorang gadis tengah bersembunyi di balik tubuh Carren. Rambut coklat tembaganya tergerai di belakang tubuh gadis itu. Mata hazel indahnya menatapnya dengan takut. Matanya tidak asing, namun tidak juga familiar bagi Gabriel.
"Kenapa kakak menatap Krysan seperti itu?" tanya Carren memecah lamunan Gabriel.
"Krysan?" Gabriel membeo.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shabby Girl ✔
RomanceBiarkan aku lari! Menjauh dari semua kegilaan dunia yang abadi. Biarkan aku bersembunyi! Membuang segala kenangan yang menyakitkan hati. Tidak ada yang tahu siapa namanya, karena memang ia terbiasa tanpa nama. Ditendang dan dimaki. Raganya masih ut...