"have you ever felt lost
like you
were born just to
be scared?"| Citizen Soldier |
...
Bagi Oni, teman adalah sinonim dari musuh, bukan antonim. Sementara berteman berarti membiarkan dirinya dilukai secara tak terduga. Pada akhirnya pertemanan itu akan menjelma permusuhan. Suka menjadi duka. Dan sebuah candaan yang biasa dilontarkan akan terdengar setajam silet. Tinggal tunggu waktunya saja, karena pertemanan termasuk bagian dari ketidakabadian.
Sekarang dia merasa cukup realistis dengan tidak mengharapkan hal-hal manis dalam pertemanan. Atau mungkin, dia sendiri sudah menghilangkan kata pertemanan dalam kamusnya.
"Oni, kamu nggak apa-apa?" tanya guru yang berdiri tidak jauh darinya.
Oni dapat melihat raut kekhawatiran di wajah wanita berumur itu. Bu Dara lantas mendekat ke arah Oni, ditatapnya gadis itu dengan tenang.
"Santai, Oni. Jangan gugup." Begitu kata Bu Dara menenangkannya.
Bu Dara—salah satu guru di SMA Gemilang yang juga merupakan adik dari ibunya adalah satu-satunya orang yang bisa dia percaya—hanya satu-satunya orang, bahkan ibunya tak masuk—dua minggu lalu, saat Bu Dara datang ke rumahnya dan bertengkar hebat dengan ibunya, beliau memutuskan untuk membawa Oni tinggal bersamanya di Jakarta. Oni tak menolak, lagi pula ibunya tak pernah peduli—atau pura-pura tak peduli, entahlah. Dan itu mengharuskannya pindah sekolah. Padahal selepas kejadian mengerikan itu, dia tak pernah berharap dapat kembali menginjakkan kakinya pada sebuah tempat bernama sekolah. Di mana pun letaknya.
"Oni," panggil Bu Dara selanjutnya, melihat tangan gadis itu gemetar.
Tarik napas!
Embuskan!
Relaks!
Tapi Oni masih grogi. "Tante, aku berhenti sekolah aja, ya," lirihnya.
Bu Dara mengusap rambut Oni yang pendek dengan lembut. "Sebentar lagi, Sayang. Sebentar lagi kamu lulus."
"Masih lama, Tan. Oni nggak yakin bisa bertahan. Lagian Oni nggak butuh sekolah."
"Kamu butuh!" Bu Dara menyela tegas, tapi dengan pembawaan yang teduh. "Kamu nggak mau seperti mamamu, kan?"
Pertanyaan itu begitu pelik. Di satu sisi dia tak pernah menginginkan hidupnya berakhir seperti sang ibu, tapi di sisi lain, dia takut kejadian satu bulan lalu kembali terulang.
"Tan—"
"Nggak semua orang jahat, Oni."
Oni terdiam cukup lama. Tampak berpikir. Dia merasakan tangan Bu Dara yang hangat meraih lengannya. Mengusapnya dengan lembut. "Kamu percaya, ada Tante di sini. Jadi, sekarang kamu masuk, ya."
Berat hati Oni mengangguk. Benar, dia bisa memercayakan tantenya di sini.
Bu Dara tersenyum. Kemudian, perempuan itu masuk lebih dulu. Dia menunggu di ambang pintu kelas. Dilihatnya guru yang tengah mengajar di dalam tampak menghentikan pembelajarannya sejenak, lalu mengobrol dengan Bu Dara.
"Ini keponakan saya yang baru pindah sekolah, seharusnya masuk pagi. Tapi ada sedikit kendala tadi, mohon dimaklum ya, Bu. Saya titip anak ini." Begitu kiranya yang dapat ditangkap oleh pendengaran Oni, karena suara Bu Dara pelan, hanya samar-samar.
Lalu tak lama, Bu Dara memanggilnya. Oni mengerjap. Ragu, dia memasuki ruangan kelas sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik topi hoodie pink yang selalu dikenakannya.
"Hai, Oni," sapa Bu Guru berkaca mata kotak itu. Suaranya terdengar ramah. Tapi, Oni masih tak berani mendongakkan kepalanya untuk menatap Bu guru itu.
"Oni," panggil Bu Dara pelan. Mau tak mau dia mengangkat wajah. "Semuanya akan baik-baik saja," katanya sebelum meninggalkan Oni di kelas. Wanita itu mengusap bahunya.
Oni hendak mengikuti Bu Dara keluar, tapi tak bisa. Dia sudah terlanjur berdiri di sana, dipandangi oleh banyak pasang mata. Tangannya semakin gemetaran disertai keringat dingin yang membasahi telapaknya.
"Kamu perkenalan dulu supaya teman-teman di kelas mengenalmu."
Tapi dia tak butuh teman, dia tak perlu memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dia—
"H-hai." Suaranya keluar. Oni gugup, susah payah matanya memandangi siswa-siswi yang menatapnya penasaran. "S-saya Oni," sambungnya. Dia menghela napas, sesak rasanya.
Seolah tahu yang dirasakan oleh gadis itu dan tak ingin memperlambat waktu belajar. Bu Hani—guru yang tengah mengajar itu—mempersilakannya duduk. "Kamu bisa langsung duduk di samping Liana. Aldi, kamu pindah duduk di samping Randy."
Ada desah kecewa keluar dari mulut cowok bernama Aldi itu. Enggan-enggan dia membereskan alat tulisnya dan pindah ke tempat yang dimaksud. Oni melangkah dengan cepat, tanpa mengucapkan terima kasih.
"Oni, tidak boleh pakai jaket di kelas."
Gadis itu mengangguk. Dia langsung membuka hoodie-nya. Dan agak gusar ketika siswa-siswa di kelas memandangnya terkejut. Kemeja sekolahnya yang ketat melekat begitu pas di tubuhnya. Juga tak ada bet—belum—dia belum sempat membelinya dan mengatakannya kepada Bu Dara. Dia juga harus membeli seragam baru, tapi dia tak mau terlalu banyak merepotkan tantenya.
"Waw!" gumam gadis yang duduk di sampingnya.
Oni tak berniat menatapnya. Dia mengeluarkan buku dan alat tulis saat Bu Hani kembali mengajar, dan mengambil alih perhatian siswa-siswa yang sempat memandangnya.
"Lo punya tubuh yang seksi." Kembali gadis di sampingnya berceloteh dengan pelan, tak mau terdengar oleh Bu Hani di depan, atau oleh murid-murid lain di sana. "Tangan lo juga mulus."
Oni merasa sangat risi. Dia menggeser bangku kayunya sedikit, tak berniat merespon gadis itu.
"Kenalin, gue Liana Nugraha. Temen-temen gue sering panggil Lian." Tangannya terjulur ke arah Oni, namun gadis itu tetap tak membalas.
Dia tak berniat punya teman. Oni ke sekolah hanya untuk belajar dan mendapatkan ijazah.
Dia mendengar Lian mendengus. "Sombong," gerundelnya. Seakan sudah tak minat, gadis itu berhenti mengganggunya dan memusatkan perhatiannya kembali kepada pelajaran yang disampaikan oleh Bu Hani di depan.
Sombong.
Benar. Oni adalah gadis yang sombong. Dan semua orang membencinya. Tidak apa-apa, dia sudah terbiasa dengan kebencian itu.
***
Oni tak keluar kelas saat istirahat. Dia membawa bekal makan siang dan menghabiskannya sendiri di dalam kelas. Tak ada siapa-siapa, hanya dirinya seorang dan seolah baru kembali ke peradaban, dia bisa menikmati oksigen dengan leluasa.
Kosong. Sepi. Sendiri. Adalah dirinya. Oni bukan antisosial, tapi bisa dikatakan begitu sekarang. Beberapa waktu lalu dia pernah punya teman, orang yang dia percaya untuk menyimpan rahasianya. Namun rupanya berteman tidak semudah saat pertama berkenalan, kepercayaannya terkikis hanya dalam satu hari. Temannya itu mengkhianatinya, lalu memusuhinya, dan kebersamaan mereka selama ini tak berarti apa-apa.
Dari sana, Oni tak berniat memercayai siapa pun lagi di dunia ini—selain Bu Dara tentunya.
Dia menghentikan aktivitas menyuap nasi ke dalam mulut ketika mendengar derit pintu dibuka. Dilihatnya seorang siswa laki-laki berdiri di ambang pintu, bukan siswa di kelasnya, Oni tahu karena tadi dirinya tak melihat wajah itu.
Mata mereka saling bertubrukan sejenak, saling menatap, sampai akhirnya Oni memutuskan kontak mata lebih dulu. Dia menunduk dan merasakan jantungnya berdetak hebat di rongga dadanya. Kelas ini sunyi dan berada di ujung koridor. Cowok itu masih memperhatikannya. Oni langsung kalang kabut, pikirannya bercampur aduk. Dia takut. Sampai akhirnya dia mendengar suara pintu ditutup, cowok itu pergi. Oni mendesah lega.
Dia tak nyaman berduaan dengan laki-laki di tempat yang sepi. Mau itu tua atau muda, mau itu siswa atau guru, mereka tetap laki-laki, dan mereka sama. Oni tak ingin kejadian satu bulan lalu kembali terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete | 1 ✓
Teen FictionCompleted✓ . Tentang sepasang remaja yang berusaha mengejar impian dalam kungkungan moral dan tekanan. Sepasang hati yang saling mengobati luka. Sepasang jiwa yang saling merindu dalam lara. Serta sepasang anak manusia yang dipertemukan dan dipisahk...