38 | Something that we're not

2.4K 195 1
                                    

"every breath you take,
i watch you
slip away
you're slowly killing
yourself."

| Asking Alexandria |
...

Satu bulan berlalu sejak perpisahannya dengan Oni di depan rumah sakit kala itu. Leon tidak pernah lagi bertemu dengannya. Tak ada yang berubah dari hari-hari yang ia lewati tanpa Oni selain hubungannya dengan Heru semakin membaik. Mamanya masih di Bali bersama kekasihnya, Lian sama seperti sebelumnya—hanya kali ini entah perasaannya saja atau bukan, cewek itu menjadi lebih dekat dengan Adel. Sementara itu, perasaan Leon kepada Oni masih tetap sama, dia masih mencintainya. Leon belum bisa melupakan gadis itu—dia memang tidak berniat melupakannya walau pertemuan mereka terkesan sangat singkat, namun bukankah tak ada ketentuan mutlak mengenai waktu jika kita ingin menjadikan sesuatu sebagai kenangan?

Bagi Leon, kebersamaannya dengan Oni adalah satu kenangan indah yang tidak ingin dia kubur selamanya, tak peduli sesering apa rasa sakit itu menghunjamnya, dia hanya ingin menyimpannya seorang diri.

Seminggu lalu, ketika Oni tidak mendatanginya di dalam mobil, Leon sadar dia sudah tak punya kesempatan lagi. Tapi itu lebih baik karena kalau Oni menghampirinya, dia tak yakin akan sanggup melepaskan gadis itu untuk ketiga kalinya. Lagi pula, Oni tidak tahu dia ikut ke sana, pikirnya. Dan itulah yang Leon percayai, terlebih Lian tidak mengatakan apa-apa saat mereka pulang.

"Woi, bangke!" tepukan ringan beserta panggilan tidak menyenangkan itu datang dari Jale. Dia merebahkan dirinya di samping Leon. "Ngelamun aja lo, entar kesambet setan tau rasa."

"Sekarang juga udah kesambet."

"Masa?"

"Heeh, setannya kan elo."

Jale langsung meninju lengannya. "Brengsek!"

Leon tidak membalas, dia kembali memandangi foto Oni di ponselnya yang baru saja selesai diperbaiki, seakan-akan foto itu bisa hidup. Hal tersebut tentu saja tidak luput dari pandangan Guntur dan Jale. Saat ini, dua temannya itu memutuskan untuk menginap di rumahnya karena sudah berhari-hari Leon tidak mau diajak nongkrong-nongkrong, entah ketika jam istirahat sekolah di warung Bi Eti, atau di atap Bar&Pub Bliss setiap minggu malam. Leon hanya akan keluar kalau teman-temannya mengajak dia berlatih secara serius di Abah Music.

Tanpa diduga, Guntur langsung merebut handphone Leon dan melemparkannya ke tempat tidur.

Leon tampak kesal. "Apa-apaan lo?!" Dia beringsut dari sofa tunggal di kamarnya dan berjalan ke tempat tidur untuk mengambil ponselnya kembali, namun Guntur mengadangnya.

"Sampe kapan lo mau kayak gini?"

"Maksud lo apa?"

"Lian bilang kerjaan lo selama beberapa hari ini cuma diem di kamar, dan lo nggak pernah lagi kumpul-kumpul bareng kita. Lo mau narik diri dari pergaulan?"

Leon menyimpan kedua tangannya di belakang leher, tampak tak keruan. "Gue butuh waktu buat sendiri, Tur."

"Sampe kapan? Sampe lo bisa lupain dia?"

Leon terdiam, dia sendiri tak tahu.

Guntur tersenyum sinis. "Dan lo nggak ada niat buat lupain dia, kan?"

Lagi-lagi Leon membungkam bibirnya. Benar, itulah yang dia lakukan. Tubuhnya merosot kembali ke sofa yang sejak tadi didudukinya. Mendengar Guntur tidak menyebutkan nama gadis itu, membuat Leon sadar akan hilangnya satu hal penting dalam dirinya.

"Yon, gue ngerti lo lagi patah hati. Tapi gue, Lian, Jale, Kila, dan Tio, kami semua nggak mau lihat lo berlarut-larut dalam kesedihan. Lo bikin kami semua sedih. Lo tahu, Lian selalu nangis karena mengkhawatirkan lo."

Itu adalah sesuatu yang baru Leon dengar. Dia tidak pernah menduga bahwa sikapnya yang murung bisa berdampak sebegitu besar pada saudara kembarnya. Lian terlihat sangat tenang di depannya, gadis itu malah jarang sekali mengganggunya selepas dia membentaknya hari itu. Leon merasa sangat bersalah.

"Hidup lo nggak akan berakhir hanya karena putus cinta, Yon. Lagi pula, lo lupa alasan kalian berpisah karena apa? Lo lupa kalo lo sendiri yang memilih buat ninggalin cewek itu demi mimpi lo selama ini?"

Kalimat Guntur barusan begitu telak mengenai jantungnya. Leon sungguh tak pernah mengira bahwa rasa sakit akibat perpisahan itu bisa melumpuhkan akal sehatnya. Dia jadi bertanya-tanya, apakah Oni juga merasakan hal yang sama dengannya? Apakah harus sesakit ini padahal dirinya baru 16 tahun?

Guntur mengulurkan tangan, mengembalikan ponsel Leon. "Gue mau lo hapus semua foto dia di HP lo!"

Leon mengangkat wajahnya. "Tur—"

"Bukan maksud gue menyepelekan masalah lo, tapi ini cuma satu dari sekian banyak fase menyakitkan yang akan segera berakhir. Percaya sama gue, kalo kalian emang jodoh, dia pasti balik ke lo. Tapi kalo kalian nggak berjodoh, seiring berjalannya waktu lo bakal menemukan penggantinya, dan ketika lo mengingat dia, lo nggak akan ngerasa sesakit ini lagi. Sekarang satu-satunya hal yang perlu lo lakukan adalah menghadapinya."

Leon membenarkan ucapan Guntur. Satu fase yang akan segera berakhir. Dia mengambil ponselnya di tangan Guntur, sedikit ragu untuk menghapus foto-foto gadis itu.

"Pas putus sama Alice perasaan nggak gini," celetuk Jale.

"Gini jadinya kalo pacaran udah maen perasaan," balas Guntur.

"Kalo nggak maen perasaan ya jangan pacaran!" geram Leon sebal. Dia mulai menghapus foto-foto Oni meskipun hatinya tidak rela, apalagi yang dia tahu semua media sosial Oni sudah di-nonaktifkan, dan kalaupun tetap aktif, gadis itu takkan mengunggah foto pribadinya.

Diam-diam Leon menyisakan satu foto selfie dirinya dan Oni ketika mereka duduk di Taman Suropati. Itu terlalu bagus untuk dihapus, pikirnya. Dia menatap Guntur yang tengah menunggunya, kemudian berdeham. "Udah."

"Semua?"

"Iya," jawab Leon berbohong. Dia mengernyit, heran mengapa dirinya bisa senurut itu pada Guntur. Apa jangan-jangan temannya itu meng-guna-guna dirinya?

"Bagus! Sekarang kita cabut!"

"Ke mana?"

Guntur sudah sampai di pintu kamar, sementara Jale buru-buru bangkit dari sofa, merangkul leher Leon dan menariknya supaya cowok itu mengikutinya. "Kita cari diri lo yang lama."

***

Oni menjerit ketika melihat darah mengalir di selangkangan menuju kakinya, jumlahnya lebih banyak dari pertama kali dia mengalami pendarahan. Perutnya terasa sangat sakit, seakan ada tangan-tangan besar yang meremas isi perutnya secara brutal.

Dara tampak berlarian ke arahnya. Dia memakai baju piama yang setengah terkancing dengan rambut acak-acakan, tapi baik dirinya maupun Oni, keduanya tampak tidak menyadari hal tersebut.

"Ya Tuhan!" seru wanita itu. Dia berteriak-teriak dengan panik memanggil suaminya.

Darwin datang beberapa detik kemudian, ketika melihat apa yang terjadi, cepat-cepat dia menghampiri Oni dan menggendongnya.

"Ambil kunci mobil! Kita ke rumah sakit sekarang," perintahnya kepada Dara yang langsung dituruti.

Darwin mengangkat Oni ke dalam mobil dan membaringkannya di kursi belakang. Dara menyerahkan kunci mobil, mereka berdua masuk. Darwin duduk di balik kemudi, sedangkan Dara memilih menemani Oni di belakang.

"Tante ... sakit ...." Suara Oni terdengar sangat lirih dan putus-putus. Wajahnya memerah dipenuhi keringat serta air mata. Dara memeluk kepalanya, mencoba menenangkannya.

Untung saja jalan raya tidak macet dan jarak rumah sakit tidak terlalu jauh, ditambah dengan cara Darwin mengemudi yang tidak lagi memedulikan aturan lalu lintas hingga mendapatkan begitu banyak protes dari pengguna jalan karena berusaha menyalip beberapa kendaraan.

Mereka tiba duakali lebih cepat dari semestinya. Di depan gedung rumah sakit, para petugas medis sudah menunggu karena Dara sempat menghubunginya di perjalanan tadi. Oni dibawa menggunakan brankar ke ruang IGD.

Seorang Dokter Kandungan di ruangan tersebut langsung mengenali wajah Oni, dia tampak menggumamkan sesuatu yang samar-samar masih bisa didengar gadis itu sebelum menutup matanya kelelahan.

"Sudah saya duga, anak itu tidak akan bertahan lama."

Incomplete | 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang