"living a life of misery
always there just
underneath."| Black Veil Brides |
...Leon tidak ada niat pulang ke rumah secepat ini, tetapi tadi, saat dirinya bersama Tio datang ke warung Bi Eti, Lian memaksanya untuk kembali karena kalau tidak, Lian tak tahu apa yang akan dilakukannya. Leon terlalu menyayangi adiknya untuk membuat gadis itu khawatir. Dia tak mau Lian nekat sebab selama ini, dirinya dan Guntur lah yang tahu mengenai masalah psikologis Lian. Meskipun sering kelihatan ceria, Leon hafal apa yang selalu terbenam di dalam pikiran adiknya itu, Lian sering memikirkan mengenai bunuh diri, dan itu bukan hanya ancaman semata. Leon pernah beberapa kali mendapati Lian melakukannya, terakhir ketika Lian memilih cara mengakhiri hidup dengan melompat dari atap gedung sekolah.
"Akhirnya kamu pulang juga," kata Heru ketika mendapati putranya itu memasuki rumah.
Melihat papanya ada di sana, suasana hati Leon terasa sangat kacau, sampai-sampai dia berharap untuk sehari ini saja dirinya tak sadarkan diri agar bisa melupakan kenyataan menyakitkan yang bertubi-tubi menimpanya.
"Leon—"
"Aku capek, Pa," sela Leon sembari mengerang. "Aku butuh waktu buat sendiri."
Namun, sifat Heru yang tegas dan tak mau dibantah sama sekali tidak berubah. "Papa ingin kamu bersikap seperti laki-laki, Leon! Jangan selalu menghindari masalah!"
Leon mengusap wajahnya frustrasi. Masalah yang menghampirinya itu mengucur bagai limbah hasil industri yang selama ini mengendap di bawah tanah, jatuh ke pembuangan dan menyemprotkan bau busuk pada dirinya hingga membuat dia tak bisa berpikir jernih. Demi Tuhan dia baru akan menginjak usia 17 tahun sebulan lagi. Bukankah semesta sangat keterlaluan memberinya cobaan sebanyak ini?
"Kenapa Papa dan Mama nggak pernah cerita sama aku? Apa sebegitu nggak pentingnya aku di hidup kalian sampai kalian nggak peduli sama aku? Apa sebegitu salahnya aku lahir ke dunia?!" Suara Leon meninggi, tak peduli kalau seseorang yang tengah disentaknya itu adalah papanya sendiri.
Heru menamparnya berulang kali, seperti yang kerap pria itu lakukan ketika Leon tidak menuruti perintahnya. Leon tidak melawan, dia malah tertawa gamang. Tamparan tangan Heru tampak menyisakan bekas merah di pipi Leon yang pucat, bahkan sudut bibirnya yang sempat sobek malam kemarin ketika Guntur memukulnya, kini kembali meneteskan darah.
Sementara di depannya, Heru tak kalah frustrasi. Dia menjenggut rambutnya sendiri, berusaha meredam amarah yang tak bisa dikontrolnya. Dia menatap putranya itu, dengan kedua mata yang menyiratkan banyak luka. Semua rasa bersalah yang sering menghinggapinya acap kali dia melakukan hal itu pada Leon, sekarang tak bisa dibendung lagi. Penyesalan menghajarnya begitu buas. Seharusnya dia bisa mengontrol emosinya. Seharusnya dia bisa memberi contoh pada anak-anaknya. Seharusnya dia tak ringan tangan seperti ini. Jangan salahkan anak-anaknya kalau mereka memilih mengikuti istrinya yang selama ini dia yakini telah menjadi cikal-bakal hancurnya rumah tangga mereka.
Monica tidak pernah mencintainya, wanita itu hanya ingin menutup mulut orang tuanya yang rewel dengan menikahi dirinya. Dan Heru merasa dirugikan, puncaknya ketika dia tahu Monica berselingkuh di belakangnya. Dia menjadi sering emosi. Terlalu paranoid akan ditinggalkan oleh semua orang. Termasuk oleh anak-anaknya. Maka itu dia selalu menekankan segala hal kepada Leon dan Lian supaya mengikuti jejaknya. Dia sudah kehilangan Monica, dan dia tak mau kehilangan kedua anaknya. Saat Leon menentangnya, Heru marah besar. Di satu sisi dia tak bisa menceritakan kebenarannya karena Monica telah memberikan kesan baik di mata Leon, dia tak bisa mematahkannya. Di satu sisi dia muak dengan kepura-puraan itu, apalagi saat Leon dan Lian memilih tinggal bersama Monica setahun lalu. Heru tak dapat menahan gejolak emosi sampai-sampai mengatakan kalimat yang tak pantas di depan kedua anaknya, "Kalian memang lebih cocok tinggal bersama jalang. Dasar anak-anak tolol!"
Heru tahu itulah yang membuat Leon selalu menghindarinya. Leon membencinya, dan dia sangat berhak menerimanya.
Leon masih berdiri di depannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang diwariskan olehnya. Hati Heru berdenyut nyeri. Terlepas dari perselisihan yang sering berakhir dengan pertengkaran hebat di antara keduanya, Heru bisa melihat sosok dirinya di dalam Leon. Mereka yang sama-sama keras kepala, sama-sama penuh ambisi, dan sama-sama tak bisa mengendalikan emosi. Leon adalah replika dirinya, semestinya dia menyadari itu sejak lama. Semestinya dia memperbaiki diri sendiri dulu sebelum memperbaiki orang lain.
"Pa, tolong! Tinggalin aku sendiri, atau bunuh aku sekarang."
Rasa sakit di hatinya tampak mengudara ketika dia mendengar kalimat setajam silet itu keluar dari mulut putranya. Suara-suara yang selama ini berusaha direndamnya, kini menguap tanpa permisi, mengolok-ngolok dirinya.
Ini dia anakmu... Ini dia hasil dari perbuatanmu... Ini balasan dari apa yang sudah kamu lakukan padanya... Anakmu itu ibarat buku kosong, dan kamu mengisinya dengan berbagai coretan keji... Lihatlah dia sekarang... Apakah kamu ingin menjadikan dia monster sepertimu?
Heru menggeleng. Tidak!
Lagi-lagi dia memperhatikan Leon yang tahu-tahu saja sudah menyodorkan sebilah pisau mengilat. Kapan anak itu mengambilnya? Kapan dia melepaskan diri dari pandangannya untuk mengambil benda tajam tersebut di dapur?
"Leon!" Suaranya seakan menghilang, tenggorokan Heru tersekat.
"Bunuh aku, Pa! Aku muak dengan semuanya! Aku muak dengan Mama dan Papa yang udah merancang semua kebohongan! Aku muak dengan Lian yang ikut-ikutan rencana kalian, padahal selama ini aku yang selalu ada untuknya! Nggak ada yang mau percaya sama aku. Bahkan pacarku sendiri memilih buat nggak jujur sama aku. Itu artinya kalian nggak peduli, kan? Aku nggak layak 'kan, dapat pengakuan dari semua orang?"
Heru tergemap mendengar penuturan Leon barusan. Dia tak tahu kalau tindakannya itu akan menimbulkan luka yang teramat dalam bagi putranya.
"Leon, Papa ...." Heru tak bisa melanjutkan kalimatnya saat pisau itu teracung di depannya. Tinggi Leon sudah hampir menyamainya, hal itu membuatnya sedikit terintimidasi. Selama ini, Heru tak pernah benar-benar memperhatikan fisik anaknya, selama ini dia selalu menganggap Leon kecil, dan dia cukup terkejut ketika tiba-tiba saja Leon berubah menjadi raksasa di matanya.
Leon tersenyum kecut. Dia berjalan mendekati Heru hingga membuat jarak mereka menipis. Leon menyimpan pisau itu di tangan Heru, sedikit memaksa. Tetapi sedetik kemudian, pisau tersebut terlempar ke lantai. Leon mengamatinya, merasa geram.
"Pa!" Mata Leon tampak berkaca-kaca.
Jantung Heru seperti diremas oleh tangan-tangan tak berperasaan. Dan begitu saja tameng kokoh sekuat baja yang melindunginya selama ini roboh bak baru diterjang tsunami hebat. Rasa sakit itu merambat naik mencapai matanya. Dia menarik tubuh putranya dan menangis. Sekarang tidak ada lagi yang bisa disembunyikannya, bahwa di balik sikap tegasnya, Heru hanyalah seorang ayah yang mencintai anaknya dengan cara keliru.
"Mari kita bicarakan ini dengan kepala dingin, Nak... Papa minta maaf karena sikap Papa selama ini... Papa hanya tidak ingin kehilangan kamu dan Lian...." Suaranya bergetar, membuat hati Leon meringis getir.
Di saat itulah Leon merasa seakan bumi tengah menghentikan rotasinya, dan waktu memerangkap mereka dalam dawai kepedihan.
Nak.
Maaf.
Tidak ingin kehilangan kamu dan Lian.
Apakah pria yang tengah memeluknya ini adalah papanya? Heru Nugraha yang selama ini selalu mengasarinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete | 1 ✓
Teen FictionCompleted✓ . Tentang sepasang remaja yang berusaha mengejar impian dalam kungkungan moral dan tekanan. Sepasang hati yang saling mengobati luka. Sepasang jiwa yang saling merindu dalam lara. Serta sepasang anak manusia yang dipertemukan dan dipisahk...