"every day for us
something new,
open mind for
a different view
and
nothing else matters."| Metallica |
...Oni harap dia salah dengar, namun ketika seseorang memasuki ruangan tertutup di kantor polisi tersebut, dia tak bisa lagi menyangkal. Dia tak bisa lagi menghalau satu nama yang masih berdengung di telinganya sejak beberapa menit lalu.
Oni tak henti-hentinya menatap gadis itu, mulutnya setengah terbuka, tak dapat menahan reaksi dari keterkejutan dirinya. Bagaimana mungkin? Pikir Oni. Semua itu sangat tidak masuk akal baginya.
Setelah gadis itu duduk di sampingnya, tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun, polisi yang bertugas menangani kasus mereka pun kembali mengeluarkan suara.
"Oni, kamu mengenalnya, kan? Saya dengar kalian dekat."
Oni menoleh pada gadis itu, yang masih belum menatapnya semenjak masuk ke sana. Kemudian mengangguk ragu.
Polisi itu membutuhkan waktu dua jam menanyainya dan mencari kesinambungan dari pernyataan-pernyataan yang telah didapatnya dari korban. Seharusnya takkan selama itu kalau Oni tidak terus-menerus menghela napas dan berkata seperti orang gagu. Biar bagaimanapun, kejadian tersebut sangat membekas di dalam benaknya dan ketika mengingatnya, dia akan selalu merasa napasnya tersendat seakan-akan hal tersebut terjadi saat ini.
Oni dipersilakan keluar lebih dulu. Dia melihat Tiana tengah duduk di salah satu kursi di ruang tunggu, sembari memegang cangkir styrofoam yang masih terisi setengah kopi latte. Oni menghentikan langkah untuk menatap ibunya dalam sejenak, menyadari bahwa wajah Tiana tampak lebih tua dari biasanya. Oni tidak tahu apa saja yang sudah dilakukan ibunya sampai dia bisa berada di sini, namun dia tahu, apa pun itu, Tiana sudah berjuang sangat keras demi dirinya. Oni masih merasa sangat bersalah setiap kali mengingat bahwa dia pernah menyalahkan ibunya atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Tanpa sadar dia menjadi bagian dari mereka, menelan semua hal yang didapatnya dari orang lain secara mentah-mentah, kemudian memercayainya begitu saja. Setitik air mata kembali menetes, tapi cepat-cepat Oni menyusutnya sebelum ada yang melihat. Dia menghela napas dalam, lalu kembali melangkahkan kakinya menghampiri Tiana.
"Ma!"
Tiana menoleh, dan Oni baru menyadari bahwa sedari tadi ibunya melamun. Dia langsung beringsut dari kursi, menyimpan cangkir kopinya dan menatap Oni sepenuhnya. "Gimana, Sayang? Udah beres? Polisinya nggak galak, kan? Kamu nggak diapa-apain sama dia?"
Spontan saja Oni menggerakkan pandangannya ke sana-kemari, memastikan tidak ada yang mendengar ucapan ibunya barusan. "Mama nggak boleh ngomong gitu, kalo ada yang denger gimana?"
Alis Tiana saling bertautan. "Lha, justru Mama harus nanya, kalo polisinya nyakitin kamu, kita bisa langsung laporin mumpung masih di sini."
Oni tahu itu bentuk dari pertahanan diri yang dilakukan oleh ibunya, reaksi alami dari trauma yang didapatnya beberapa kali. Seperti yang terjadi pada dirinya, Tiana hanya ingin melindunginya. Oni tersenyum. "Baik kok, Ma. Malahan sabar banget. Katanya kalau aku nggak mau ngomong, dia nggak maksa. Tapi aku harus bilang semuanya, kan? Jadi aku omongin, meskipun lama. Di dalam juga disediakan camilan sama minum kalau-kalau kami lapar."
"Kami?" tanya Tiana mengulang pernyataan Oni barusan. "Dia juga datang?"
Oni mengangguk, dan dia bisa melihat perasaan bersalah di wajah ibunya. Namun Oni tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Sejak kapan Mama tahu ini?"
Bukan tanpa sebab Oni mengajukan kalimat tersebut pada ibunya, alih-alih berusaha memikirkan ketidakmungkinan seperti sebelumnya, ingatannya malah mengorek-ngorek semua hal yang terjadi semenjak dia pindah sekolah. Seperti kala itu, saat Adel melabraknya karena berpikir ibunya tengah menggertak keluarga mereka.
Tiana sedikit merunduk, menyimpan rambut Oni yang menutupi pipinya ke belakang telinga, kemudian menangkup wajahnya dengan lembut. "Itu nggak penting, Sayang. Yang penting sekarang adalah hukum sudah berjalan semestinya."
Tepat setelah mengatakan itu, seseorang memanggilnya. Oni menoleh ke belakang, mendapati gadis itu tengah berjalan ke arahnya.
"Tante, boleh saya ngobrol sama Oni sebentar?"
Tiana menatap anaknya ragu, namun Oni mengangguk sangat yakin. Setelah mengucapkan terima kasih dan permisi, gadis itu melangkah lebih dulu ke lorong yang agak sepi, Oni mengekorinya dari belakang.
"Oni, aku minta maaf. Aku tahu aku keterlaluan—"
Oni memotong kalimat temannya itu karena dia langsung menghambur ke pelukannya.
"Flora, aku juga salah karena waktu itu aku nggak mikirin perasaan kamu."
Flora membalas pelukannya. Dia menangis di pundak Oni. Mereka berdua menangis. Oni sendiri tak tahu apakah dia harus senang kasus ini bisa segera ditangani, atau sedih karena hal serupa menimpa sahabatnya, yang mana lebih parah keadaannya dan membuatnya sangat sedih. Oni jadi ingat ucapan Bu Ratna kemarin, "Jadi, yang bermasalah di sini bukan 'taman hiburan', melainkan mereka, orang-orang yang datang ke tempat itu."
Flora merundungnya. Dan ternyata memang gadis itu yang bermasalah. Oni bisa memahaminya sekarang kenapa Flora bertindak sangat berlebihan padanya. Seandainya dia ada di posisi gadis itu, dia sendiri tak tahu harus melakukan apa. Biar bagaimanapun, Pak Hadi adalah ayah kandungnya, dan Flora sudah tidak memiliki ibu. Hal tersebut membuatnya menggantungkan hidup hanya pada ayahnya. Flora dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama, dia harus kehilangan ayahnya dan mendapat reputasi buruk dari orang-orang. Kedua, dia harus merelakan kehormatan, harga diri, dan tubuhnya.
Flora melepaskan pelukannya, air mata masih berderai. "Tapi aku tahu aku harus ngelakuin ini, Oni. Aku udah nggak adil sama kamu. Aku udah nggak adil sama diri aku sendiri."
Oni mengangguk-angguk, sungguh paham pada situasi yang tengah merundung mereka berdua.
"Waktu itu aku nggak bener-bener marah sama kamu. Waktu itu aku cuma frustrasi karena aku tahu yang kamu ucapkan benar, dan yang Tante Tiana lakukan demi kita; demi aku juga. Tapi aku takut aku akan kehilangan satu-satunya orang tuaku."
Dada Oni terasa sangat sakit, seperti ada ribuan jarum tak kasatmata yang menusuk-nusuk jantungnya. Sementara Flora masih menangis terisak-isak di depannya, membuat beberapa orang dari kejauhan menoleh penasaran pada mereka.
Flora tersenyum pahit, namun Oni tahu itu bukan ditunjukkan untuknya. "Papaku emang menjijikkan, tapi sampai kapan pun, aku nggak bisa berhenti sayang sama Papa."
Oni mengusap-usap bahu Flora, berusaha menenangkannya walau sia-sia.
"Aku tahu tindakannya nggak bisa dimaafkan, tapi aku tetap mau mencobanya. Aku mau kamu maafin kami."
Selama beberapa saat, Oni melupakan caranya bernapas. Rasanya di sana terlalu pengap untuk mendapatkan oksigen.
"Aku bohong kalo aku bilang aku nggak marah sama kalian. Bahkan aku selalu nyalahin kalian. Aku bisa maafin kamu, tapi aku masih belum bisa maafin Pak Hadi."
Flora mengangguk, ada banyak kepedihan yang tak bisa diutarakan dalam bentuk kata-kata. "Nggak apa-apa, itu hak kamu. Yang penting aku udah mencobanya."
Flora memeluk Oni, tetapi hanya untuk beberapa detik sebelum akhirnya dia melepaskan tangan gadis itu dan berusaha mengusap air mata yang terus-menerus meleleh tak berkesudahan di sepanjang pipinya.
"Aku mau bilang, kamu adalah sahabat terbaikku."
"Flo, kamu masih menjadi sahabat baikku."
Oni bisa melihat senyum menyakitkan itu terpampang jelas di bibir Flora. "Makasih, Oni. Kamu juga masih menjadi sahabat baikku. Tapi, aku nggak yakin kita bisa menghabiskan waktu bersama-bersama lagi kayak dulu."
Oni mengembuskan napas berat, dia juga berpikir begitu. Setelah dirasa tak ada lagi yang mesti mereka bicarakan, Oni mulai melangkahkan kakinya dari sana. Dia sadar, kali ini dia menjadi pihak yang meninggalkan.
Terkadang kau harus mengalami keduanya supaya bisa memahaminya, dan Oni baru tahu ternyata menjadi pihak yang meninggalkan sama terlukanya dengan menjadi pihak yang ditinggalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete | 1 ✓
Teen FictionCompleted✓ . Tentang sepasang remaja yang berusaha mengejar impian dalam kungkungan moral dan tekanan. Sepasang hati yang saling mengobati luka. Sepasang jiwa yang saling merindu dalam lara. Serta sepasang anak manusia yang dipertemukan dan dipisahk...