32 | Never too late

1.3K 181 6
                                    

"it's never too late
to show you who
i am."

| Secondhand Serenade |
...

Dokter bilang pendarahannya tidak terlalu parah, namun begitu Oni tetap harus di-opname selama satu hari penuh untuk melihat perkembangannya karena ketika sesi pemeriksaan tadi, dokter melihat ketidakjelasan dalam kandungannya. Oni tidak terlalu paham, dia bahkan tidak mau tahu perihal kehamilannya. Mendengarnya saja membuat Oni mual. Bagaimana mungkin selama dua bulan ini dia tidak menyadari ada bakal janin di dalam rahimnya? Tapi kalau bisa, dia berharap dirinya tidak mengetahui hal itu selamanya.

Setelah dipindahkan ke ruang rawat inap, Oni kembali tertidur selama beberapa jam karena pengaruh obat yang diberikan oleh Dokter. Saat dia terbangun hampir tengah malam, Dara sudah tidak ada di sana. Oni memutar bola matanya ke sana kemari untuk mencari keberadaan tantenya itu, hingga dia mendengar sedu sedan seseorang. Oni merasa ngeri, perihalnya bilik sebelah kosong sehingga di ruangan tersebut hanya ada dirinya saja. Atau mungkin seseorang baru mengisinya? Karena penasaran, Oni memutuskan untuk menyingkap tirai di sebelahnya. Dia mendapati seorang wanita tengah duduk di atas ranjang sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Permisi ...," tegurnya.

Wanita itu mengangkat kepala serta menurunkan kedua tangannya. Oni terkejut menyadari siapa wanita itu. Barangkali dirinya tengah bermimpi, Oni mengerjap beberapa kali untuk menyempurnakan penglihatannya. Namun sosok di depannya tetap sama.

"Mama," gumamnya.

Tiana beringsut dari sana, memeluk Oni dengan lembut dan mengecup wajahnya berulang kali hingga membuat Oni merasa geli karena ingus ibunya masih meleleh bercampur dengan air mata yang belum diseka.

"Ini semua salah Mama, Oni bisa membenci Mama sekarang!"

Mendengar itu, jantung Oni berjengit nyeri. Seperti yang dia bilang sebelumnya, semarah apa pun dirinya pada sang ibu, dia tak sampai hati untuk membencinya.

"Ma, Oni sayang Mama." Biji matanya memanas, rasanya dia ingin menangis lagi. Oni tak peduli bila disebut cengeng, karena demi apa pun, rasa sakit itu membuat raga dan jiwanya remuk redam.

Tiana mengangkat wajahnya, memandangi anaknya dengan penuh sesal. Dia sudah menyiapkan diri untuk dimaki-maki Oni, untuk disalahkan oleh anak itu, tetapi yang didapatnya sungguh di luar dugaan, dan kalau boleh jujur respon Oni barusan membuatnya merasa semakin bersalah.

"Nggak, Nak. Kamu berhak membenci Mama."

Oni menggeleng, dia mengusap jejak air mata di pipi mamanya. "Jangan paksa aku, Ma. Sampai kapan pun, Mama akan selalu menjadi mama aku, dan itu artinya aku nggak bisa membenci Mama."

Tiana merasa terharu, dia mencium kening anaknya itu cukup lama, menyalurkan segala kerinduan dan kasih sayang seorang ibu.

Setelah mendapat kabar ini dari adiknya, Tiana buru-buru pergi ke Jakarta untuk menemui Oni. Di sepanjang perjalanan, dia tak bisa memikirkan apa pun selain berharap untuk cepat sampai, dia merasa terguncang. Kejadian yang menimpa Oni sekarang mengembalikan ingatannya pada beberapa tahun silam. Saat dirinya berhenti sekolah karena harus mengandung Oni. Tiana pikir ini adalah karma untuknya, karma yang paling menyakitkan karena tidak ada seorang ibu gagal yang ingin melihat hidup anaknya juga gagal.

Tiana menjauhkan wajahnya, menatap manik mata anaknya yang menyiratkan kepedihan. "Oni, ada banyak hal yang mau Mama bicarakan dengan kamu."

Jantung Oni berdetak-detak di dalam rongga dadanya. Tentu saja, ada banyak hal yang ingin dia dengar juga dari mamanya. Maka itu Oni langsung memosisikan tubuhnya menjadi duduk. Tiana membantu membenarkan letak bantal di belakangnya supaya gadis itu bisa menyandarkan punggungnya dengan nyaman pada kepala ranjang.

Incomplete | 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang