37 | One more step

1.5K 188 1
                                    

"this is
the room
the start of it
all."

| Joy Division |
...

Setelah Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, yang menandakan bahwa sidang resmi ditutup, tersangka langsung digiring menuju pintu ruang pengadilan. Pandangan Oni lagi-lagi berpapasan dengan mata orang tua itu. Ketika Hadi melewatinya, dan berada tepat di depannya, Oni bisa mendengar suaranya yang merisik, "Maafin Bapak, Nak." Sementara raut wajahnya tidak diliputi penyesalan sedikit pun, hal tersebut membuat darah Oni menggelegak. Tangannya terkepal di samping tubuhnya.

Maaf, katanya?

Oni bukan Tuhan, dia tak bisa begitu saja mengampuni orang yang telah menyakitinya, orang yang telah membuat masa depannya hancur. Anak itu, anak yang dikandungnya, apa pria itu berpikir akan mudah mengurusnya nanti?

Oni berjalan cepat—nyaris berlari—dan memukul punggung Hadi, karena itu yang bisa dijangkaunya. "Dasar brengsek! Sialan! Manusia biadab! Kamu nggak pantes jadi guru!"

Oni mengambil sesuatu di saku hoodie-nya dan mengeluarkannya begitu tangkas, namun tangannya tak cukup cepat terayun untuk menghunjamkan benda berkilau tajam itu ke bagian tubuh Hadi mana pun karena seorang penjaga tahanan yang menggiring pria itu langsung menangkap tangannya dan memelintirnya ke belakang, membuat pisau tersebut otomatis terjatuh.

Oni meringis sambil menangis, dia bisa mendengar suara kesiap dari orang-orang yang melanglang buana di sana. Tapi yang sangat jelas dia dengar dari ibunya. Tiana cepat-cepat berlari ke arahnya, dan dia baru menyadari wanita itu menangis begitu keras.

"Lepasin anak saya!" teriak Tiana kepada sipir penjara yang memegang tangan Oni.

Pria itu melepaskan Oni setelah melihat satu temannya mengamankan pisau tadi di lantai dan membawa Hadi agak jauh dari mereka.

Tiana buru-buru menarik Oni yang terisak ke dalam pelukannya. "Apa-apaan itu tadi? Anda menyakiti anak saya."

Tak ada ekspresi menghakimi atau apa pun di wajah pria berusia lebih dari seperempat abad itu, dia malah menunjukkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya dan dengan sabar mengatakan, "Kalau anak Ibu membunuhnya, dia yang akan dituntut karena sudah mencelakai tersangka."

Lalu setelah mengatakan itu, dia menghela diri dari sana, menemui temannya lagi untuk bersama-sama mengantar Hadi ke jeruji besi.

Oni melepaskan pelukan Tiana. Dia menyadari orang-orang memandang mereka dengan iba, tapi Oni tak cukup peduli untuk menghiraukan mereka. Dia menatap ibunya menyesal.

"Maaf, Ma," kata Oni mengingat tindakan bodoh yang akan dilakukannya barusan. Tadi, ketika Oni izin ke toilet, dia pergi untuk mengambil hoodie yang menyembunyikan pisau dapur milik ibunya itu. Dan karena Oni sudah melakukan pemeriksaan di pintu masuk, petugas yang berjaga di depan gedung pengadilan tak lagi memeriksanya, melihat tak ada yang mencurigakan dari gadis itu, jadi Oni berhasil meloloskan diri dengan mudah. Dia pikir, itulah yang harus dilakukannya. Dan pikiran tersebut lebih diperkuat ketika hakim mengambil keputusan mengenai vonis pengadilan untuk tersangka.

Tiana menyusut air matanya, tampak menarik napas dalam-dalam sebelum tersenyum ke arahnya. "Mama juga kecewa, Oni. Kita nggak perlu merasa puas dengan pengadilan ini, tapi kita harus tetap bersyukur karena dia sudah dihukum."

Mungkin benar, Oni tidak bersyukur. Namun dia masih tetap menyimpan dendam. Hadi hanya dijerat satu pasal dengan maksimal 7 tahun penjara, dikurangi ini-itu yang Oni sendiri tidak terlalu paham hingga membuatnya terancam pidana selama 5 tahun penjara.

Hanya 5 tahun penjara, sedangkan dirinya dan Flora, mereka harus menanggung rasa sakit itu seumur hidup. Bukan sakit fisik yang hanya dalam beberapa waktu bisa menghilang, tapi rasa sakit mengetahui tak ada lagi yang berharga dalam dirinya. Apalagi dengan kehadiran bakal janin di dalam rahimnya saat ini.

Incomplete | 1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang