"you're not alone
we'll brave this storm."| Black Veil Brides |
...Oni tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Leon ketika melihat cowok itu berbaring telentang sembari memejamkan mata di tengah lapangan terbuka dalam keadaan cuaca yang sedang terik-teriknya. Mengingat sekarang jarum jam berhenti di angka setengah duabelas. Dia melanjutkan kembali langkahnya sembari menjinjing kantung plastik putih yang di dalamnya terdapat nasi bungkus dan air mineral kemasan.
"Leon!" panggilnya di tepi lapangan.
Leon sama sekali tak menoleh. Padahal Oni yakin suaranya cukup keras. Tak ingin berteriak—sementara orang lain tengah belajar—akhirnya Oni berjalan ke tengah lapangan.
Leon belum menyadari keberadaannya di sana. Cowok itu masih memejamkan mata. Kulitnya yang putih tampak memerah seperti melepuh.
Oni sedikit berjongkok, mengambil air mineral kemasan di dalam plastik, kemudian menempelkannya di sebelah pipi Leon untuk menyadarkan cowok itu.
Leon langsung mengerjap, dia membuka matanya terkejut, lalu beringsut membenarkan tubuhnya untuk berdiri sembari membunyikan sendi-sendinya yang terasa pegal. "Kok lo di sini? Pelajaran siapa sekarang? Kenapa nggak masuk?" tanyanya beruntun.
"Pelajaran Bahasa Inggris, ada ulangan harian dan aku kebagian sesi pertama. Jadi, sekarang udah beres. Nih, buat kamu. Kamu pasti belum sempat makan karena dihukum sejak istirahat."
Leon menampilkan senyum merekah. Dia meraih plastik putih di tangan Oni dan botol minuman yang tadi disodorkannya. "Makasih, ya. Nanti gue ganti uangnya."
Oni menggeleng. "Nggak usah, aku ikhlas kok."
"Nggak bisa gitu, lo pasti pake uang jajan lo buat beli ini."
"Iyalah, masa aku pake uang Lian." Oni memberengut. Sementara Leon terkekeh. "Pokoknya gue bakal ganti!"
"Aku bilang nggak usah! Kamu juga udah sering antar-jemput aku, padahal rumah kita nggak searah. Kalo aku naik ojek, udah ngeluarin banyak uang. Hitung-hitung ucapan terima kasih."
"Tapi gue 'kan bukan tukang ojek," kata Leon tersinggung. "Gue antar jemput lo karena merasa harus."
Oni mengernyitkan keningnya, tak paham dengan ucapan Leon barusan.
"Kita ke kantin yuk. Di sini panas," ajak Leon tak menghiraukan tatapan Oni yang tengah menagih penjelasan dari ucapannya barusan.
"Tahu panas, tidur di lapangan," gerundelnya.
"Gue nggak tidur, Oni."
"Tapi kamu pulas banget, aku panggil tadi nggak nyahut. Emangnya nggak kedengeran, ya?"
"Sori." Hanya itu yang keluar dari bibir Leon, selebihnya dia malah tersenyum getir, membuat Oni seketika mengerutkan hidungnya.
Tanpa diperintah, Leon menarik tangan Oni berjalan ke sisi lapangan. Melewati koridor hingga sampai di kantin yang masih tampak sepi. Mereka mengambil tempat duduk secara berhadapan. Oni mengusap keningnya yang berkeringat, sementara Leon menutup botol mineral kemasan yang baru saja diminumnya. Dia membuka nasi bungkus yang diberikan Oni tadi. Kemudian memakannya dengan lahap.
Diam-diam Oni memperhatikan, ada sejumput senyum yang menghiasi bibirnya. Sadar sedang diamati, Leon mengangkat wajah, dia tersenyum dengan mata karena mulutnya penuh oleh makanan. Sementara Oni buru-buru mengalihkan pandangan lantaran malu ketahuan sedang mengawasi.
"Kayaknya lo udah jatuh cinta sama gue, ngelihatin gue sampai segitunya," tutur Leon percaya diri setelah menelan habis makanan yang beberapa detik lalu masih berada di mulutnya.
"Ih, apaan sih?!" Pipi Oni sudah bersemu merah.
"Gemes deh, malu-malu kucing." Lalu melanjutkan kembali makannya sampai habis tak bersisa, dan meminum air mineral di botol tersebut hingga tandas. Leon mengambil tisu di atas meja untuk mengelap mulutnya. Tanpa diduga dia bersendawa sembari mengusap-usap perutnya yang kekenyangan.
"Jorok!" seru Oni.
"Bersendawa itu manusiawi," celetuk Leon yang membuat Oni melotot padanya. "Sekali lagi makasih, ya, makanannya enak. Cuma kurang sambal."
Oni mengangguk. "Lain kali aku tambahin sambalnya yang banyak."
"Nggak deh, bercanda."
"Bercanda mulu."
"Yaudah, kamu mau aku serius?"
Oni bergeming menyadari ada yang berubah dari ucapan cowok itu. "Kamu?" Dia membeo.
"Aku salah ngomong, ya?" Sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ng-nggak," timbal Oni.
"Onion, kamu inget gak kalo aku pernah nembak kamu di motor?"
Kaki Oni tak bisa diam di bawah meja, merasakan jantungnya meletup-letup seakan ingin keluar ke permukaan. "I-ingat," jawabnya susah payah.
"Aku serius waktu itu. Nggak tahu kapan mulanya, aku udah suka sama kamu. Mungkin waktu pertama kali kita ketemu di belakang Abah Music Studio, waktu kamu lihat aku kayak lagi lihat hantu." Dia terkekeh pelan di ujung kalimatnya. "Atau waktu aku sadar kamu menamai anak kucing liar itu Leon."
"Aku nggak bermaksud menyamakan kamu dengan kucing, sumpah," kata Oni gelagapan.
"Iya, tahu." Leon masih terlihat santai, walau di dalam hatinya seakan terdapat kembang api yang siap meledak. "Lagian kamu udah kenal duluan sama kucing itu dibanding aku."
Ada jeda beberapa detik sebelum Leon melanjutkan. "Sekarang aku nggak mau mengalihkan pembicaraan. Jadi, aku bakal langsung ke poin utama aja." Dia menatap Oni tepat di kedua matanya. "Kamu mau jadi pacar aku?"
Kamu mau jadi pacar aku? Pertanyaan itu terdengar agak menuntut di telinga Oni. Leon bahkan tak memberikan pilihan lain selain mau. Oni menelan ludahnya yang mendadak seribu kali lebih sulit dari biasa, menyembunyikan telapak tangannya yang sudah dibanjiri keringat dingin di bawah meja, sementara matanya tak bisa berpaling, seakan cowok itu telah menguncinya secara rapat.
"Gimana?" Leon tampak meminta kepastian.
Dulu, waktu Tomi menyatakan perasaannya, keadaan belum seperti ini. Dia belum merasakan bagaimana rasanya patah hati, lebih-lebih direndahkan oleh seorang laki-laki. Tetapi kini, dia takut. Bagaimana kalau nanti cowok itu akan menuntut sesuatu darinya seperti yang dilakukan oleh Tomi karena berpikir dirinya sudah kotor? Bagaimana kalau Leon meninggalkannya karena bosan?
Berbagai dugaan seolah mengelabui hatinya. Oni tak bisa menjawabnya, dia tak ingin segala sesuatunya berubah. Apalagi saat dia menyadari bahwa dirinya telah nyaman dengan kedekatan mereka.
"K-kamu tahu 'kan mamaku—"
"Aku nggak peduli orang tuamu siapa, aku juga nggak peduli soal masa lalu kamu. Aku cuma cinta sama kamu. Itu aja," potong Leon tak membiarkan gadis itu melanjutkan.
"Tapi kamu bakal bosan. Aku nggak seperti perempuan kebanyakan. Aku malah masih takut kalau berduaan sama laki-laki. Dulu Tomi bilang aku jual mahal pas nolak ajakannya, trus dia mutusin aku."
"Jadi maksud kamu, aku—"
"Bukan gitu!" sela Oni menyadari kalimatnya barusan telah menyinggung Leon.
Dan benar saja, dia melihat cowok itu tersenyum kecut. "Iya, aku ngerti."
Bertepatan dengan itu, bel istirahat kedua berbunyi. Leon lantas berdiri dari sana. "Aku emang nakal, tapi bukan berarti aku suka merusak perempuan. Jangan samakan aku dengan mantan kamu, atau siapa pun yang udah bikin kamu kayak gini. Nggak semua laki-laki seberengsek mereka."
Oni baru akan membalas, tetapi Leon lebih dulu menyela. "Dan soal perasaan aku ke kamu, aku jujur dan aku pengin kamu juga jujur sama aku." Kemudian melenggang dari sana, meninggalkan Oni yang tengah diaduk berbagai rasa.
Leon marah padanya, dan seharusnya dia tak berpikir demikian setelah melihat betapa besar ketulusan cowok itu. Oni jadi mengingat apa yang Lian ucapkan di jam istirahat pertama tadi, Leon berantem dengan kakak kelas hanya karena membela Lian. Ternyata, bukan soal masa lalu yang menghantui, tetapi soal dirinya yang terlalu egois. Leon tampak sempurna di matanya, cowok itu tak pantas untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incomplete | 1 ✓
Teen FictionCompleted✓ . Tentang sepasang remaja yang berusaha mengejar impian dalam kungkungan moral dan tekanan. Sepasang hati yang saling mengobati luka. Sepasang jiwa yang saling merindu dalam lara. Serta sepasang anak manusia yang dipertemukan dan dipisahk...