Tak banyak barang yang dibawa Faza, hanya satu ransel berisi leptop dan beberapa stel pakaiannya. 3 hari ia akan tinggal di Bogor lalu kembali lagi ke Bandung mengurus pekerjaanya di pesantren.Dimalam itu juga Faza kembali melajukan mobilnya. Butuh 5 jam ia sampai kesana, ke kota yang terkenal dengan kota hujan, kota dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
30 menit sebelum ia sampai ke pesantren Al Ihsan, pesantren ayahnya. Di bawah deras hujan, dengan jalanan yang nampak sepi dan juga lengang, seorang wanita dari arah kiri jalan berlari membuat mobil itu dengan cepat di rem Faza sebelum hampir menabrak tubuh wanita yang sudah berdiri di depan mobilnya. Tampak wanita itu juga sama terkejutnya dengan Faza.
"Astagfirullah, hampir saja," gumam Faza.
Wanita itu sekejap terdiam bahkan sekarang wanita itu berlari kearah pintu mobil Faza, menggedor-gedor kaca dengan kerasnya.
"Aku mohon buka pintunya! Tolong aku! Selamatkan aku!"
Faza mengernyit menatap wanita yang basah terguyur hujan diluar mobilnya. Faza dengan cepat membuka pintu mobil tetapi belum wanita itu menaiki mobilnya satu tarikan tangan dari luar membuat wanita itu kembali menjauh 5 meter dari mobilnya.
Wanita itu adalah Maira, yang menahan sakit ketika Wira, lelaki itu mencengkram erat pergelangan tangan Maira.
"Tolong aku! Tolong!" Suara itu terdengar begitu keras walau hujan turun semakin menderas sekarang.
Tangan Wira terus menarik Maira membawanya ke tempat semula ia terkurung, ia terus memberontak sampai satu tamparan membuat wanita itu kini tersungkur di atas tanah yang basah.
Kaki Wira siap menendang tubuh Maira tapi satu pukulan lebih dulu mendarat di rahang Wira. Faza memukulnya. Membuat sang lelaki itu menatap tajam pada Faza. Wira tersenyum getir.
"Mencoba jadi pahlawan, huh?!" teriak Wira tidak suka.
Faza mengepalkan tangannya kuat. Ia tidak akan pernah membiarkan seorang wanita terluka atau diperlakukan sekeras itu. Walau wanita itu tidak dikenalnya. Menolongnya adalah sebuah kewajiban bagi Faza.
Kini Wira berdiri siap menjatuhkan pukulan pada Faza tapi dengan cepat Faza tangkis dan malah Faza memberikan pukulan susul menyusul pada perut lelaki itu. Wira terjatuh lemah di atas tanah dibawah hujan. Ia meringis menahan sakit.
Faza dengan cepat menarik tangan Maira ke dalam mobilnya. Dan kembali melajukan mobilnya meninggalkan Wira yang berteriak keras.
"MAIRA! LO GAK AKAN PERNAH BISA LARI DARI GUE! DENGAR ITU!"
Maira menutup telinganya dengan kedua tangannya. Suara itu masih terdengar begitu jelas. Suara Wira yang seolah meneror terus dirinya. Tangisnya terus merambas.
Maira terduduk di kursi belakang mobil Faza, dari pantulan kaca mobilnya Faza menatap sendu wanita yang terus menangis tersedu. Maira tak memakai hijab, rambutnya tergerai panjang sepunggung nampak tubuh itu terus gemetar.
Faza menghela. Ia menatap tangannya yang sedang menyetir. Satu tangan terangkat dihadapan. Faza telah menyentuh wanita itu. Wanita yang bukan mahramnya.
Berdosakan Faza karena telah menyentuh kulit yang tak halal untuknya? Walau dalam alasan membantu apa itu termasuk dosa?
Faza memperhatikan dirinya dan wanita itu. Hanya mereka berdua yang berada didalam mobil. Membuat Faza bingung dalam posisinya. Menyuruh wanita itu keluar dari mobilnya? Atau membiarkan wanita ini duduk disana, berdua dengannya? Tapi jika ia suruh wanita itu turun bisa saja lelaki barusan kembali menyakitinya.
Bibir Faza tak henti melafal dzikir-Nya. Berharap Allah memberikan jawaban atas keresahan dan kebingungan yang dirasanya kini.
Sepuluh menit dalam keheningan diantara mereka, Faza memberanikan diri bertanya pada wanita dibelakangnya itu.
"Apa bisa kamu berikan alamat rumahmu biar aku bisa antarkan kamu kesana-" ucapan Faza dipotong Maira.
"Tidak! Aku tidak mau kesana, Aku takut, sangat takut. Bawa aku jauh dari sini, aku mohon ..." lirihnya kembali terisak.
Maira memeluk dirinya sendiri. Tiba-tiba tubuh itu menggigil kedinginan membuat panik Faza yang duduk menyetir didepan.
Faza menghentikan mobilnya. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan jaket tebal dan memberikannya pada Maira. Maira menatap mata itu. Tatapan mereka bertemu.
"Pakailah," ucap pelan Faza. Maira mengangguk lalu mengambilnya.
Suasana kembali hening.
"Terimakasih," ucap Maira berusaha menampilkan senyumnya.
Faza yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya menoleh dari pantulan kaca. Senyum itu nampak dibibir wanita itu. Dengan cepat Faza mengalihkan pandangannya dan kembali fokus pada jalanan didepannya.
"Iya, sama-sama."
Hatinya tidak tenang sekarang. Detak jantungnya berdetak begitu cepat. Rasa takut akan dosa dan fitnah menghantui Faza.
Tiba-tiba tubuh Maira ambruk kesamping. Maira tak sadarkan diri. Faza semakin cemas dan juga panik sekarang. tepat saat mobil berhenti. Mobil itu sudah terparkir dihalaman pesantren Al Ihsan.
Tepat saat itu juga Aira, adik Faza berlari dengan senang menemui kakaknya. Faza keluar dari mobil. Aira memeluk kakaknya itu. Tapi, tatapan Aira teralih pada seorang wanita yang terlelap dibelakang mobil milik Faza.
Mata Aira membulat.
"Kakak! Astagfirullah! Siapa dia? Kakak udah ngapain dia, huh?! Kak Faza tau kan kalo itu jina, inget kak itu dosa!" Ucap Aira begitu keras.
"Duh Aira ... biar kakak jelasin dulu."
"Tidak perlu penjelasan." Tangan Aira terangkat. "Aira akan aduin ini sama Abi dan Umi, kalo kakak Faz-"
Satu tangan menahan mulut Aira berbicara.
"Aira, cukup, tidak ada waktu untuk semua itu. Cari bantuan santriwati disini untuk membawa wanita ini ke rumah."
Aira mengangkat satu alisnya, lalu kembali menatap wanita di dalam mobil itu.
"Wanita itu pingsan?"
"Iya, dek, kakak mohon cari bantuan sekarang, dia butuh pertolongan," ucap Faza dengan paniknya. Aira mengangguk cepat.
Aira berlari ke arah mesjid besar tempat sekarang semua santri menunggu adzan subuh yang sebentar lagi akan berkumandang. Aira memanggil dan membawa beberapa santriwati untuk membantunya.
Di ruang tamu rumah itu sudah duduk abi Yusuf, umi Aisyah, dan juga Aira. Faza ditatap semua pasang mata seolah Faza adalah seorang tersangka. Faza menjelaskan kejadiannya dini hari tadi. Tentang kenapa wanita itu berada dimobilnya.
Sampai sebuah senyuman terukir dari abinya. Tangannya mengusap punggung anak sulungnya begitu lembut. Membuat sedikit keresahan yang dirasa Faza mengurang.
"Tidak apa-apa, Faz, yang kamu lakukan tidak salah," ucap abi Yusuf menenangkan.
Faza sekarang menunduk. Matanya terpejam. Faza menghela nafasnya panjang. Lalu kembali menatap abi Yusuf dengan resahnya.
"Tapi Abi, Umi, Faza tidak sengaja menyentuhnya, sungguh, saat itu Faza hanya berpikir menolongnya dan tiba-tiba tangan Faza menariknya kedalam mobil dan membawanya jauh dari laki-laki itu. Berdosakah Faza, bi?" lirih Faza. Mata itu nampak berkaca-kaca.
Seulas senyum hadir diwajah mereka. Abi Yusuf mendekap bahu anak lelakinya itu.
"Tidak, Faza, kamu tidak usah merasa resah. Perlakuan itu spontan kamu lakukan untuk menyelamat kehidupan seorang perempuan. Malah Abi kagum padamu, kamu merasa resah dan takut akan dosa tentang perbuatanmu yang padahal niatmu tidak salah, sekedar menolongnya, " tutur abi Yusuf membuat Faza mulai kembali tenang.
Aira kini menghamburkan pelukannya pada Faza. "Kak faza ... Maafin Aira tadi yang sempat suudzan sama kakak," ucapnya nampak menyesal.
Faza tersenyum lalu mengangguk.
"Iya, kakak maafin kok," jawab Faza mengusap lembut adiknya dengan sayang.
***
Jangan lupa, ditunggu vote dan comment nya. Kalo ada saran kritik tulis aja di kolom komentar jangan enggan...🤗Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadariku, Almaira[Selesai]
Spiritual"Jadikanlah aku bidadari dihidupmu, walau aku sadar, aku bukanlah wanita yang sempurna untukmu akan dirimu dan akhlakmu yang terlalu sempurna untukku." Almaira Maharani_ "Almaira, seorang wanita yang tak sengaja kutemui dijalan kota. Keinginannya un...